Bagikan artikel ini :

Saksi-saksi Iman: Ishak

Ibrani 11:20; Kejadian 27:33-40

Lebih baik berlindung kepada TUHAN, dari pada percaya kepada manusia.
- Mazmur 118:8

Ishak adalah seorang figur ayah yang patut dikasihani, bukan? Meski seorang kepala keluarga, ia diperdaya oleh istri dan anak bungsunya dalam kebutaannya. Pada akhirnya, ia hanya bisa memberkati anak sulungnya yang lebih difavoritkannya dengan berkat kelas dua. Para kaum bapak tentu dapat bersimpati kepadanya.

Namun, tahukah Anda bahwa ini adalah buah kesalahannya sendiri sebagai seorang kepala keluarga? Sejak kelahirannya, Tuhan sudah memilih Yakub di dalam kedaulatan- Nya (Kej. 25:23, bdk Rom. 9:10-15). Tak hanya itu, Ishak seolah buta terhadap tindakan-tindakan Esau yang menganggap remeh hak kesulungannya: menjual haknya (Kej. 25:29-34) dan mengambil istri orang asing (Kej. 26:34-35). Namun Ishak, dalam ketidaktaatan kepada Tuhan, memilih Esau, “… sebab ia suka makan daging buruan” (Kej. 25:28) yang diolah Esau. Jadi, meski memang penipuan terhadap Ishak adalah hal jahat yang dirancang Ribka dan Yakub dalam keberdosaan mereka, Tuhan menggunakannya untuk menjalankan rencana-Nya.

Menurut beberapa ahli biblika, frasa “terkejutlah Ishak dengan sangat” yang dipakai pada Kej. 27:33 mengindikasikan bahwa di momen itulah Ishak sadar bahwa rencana Tuhan telah tergenapi melawan ketidaktaatannya. Ishak bisa saja mencabut berkatnya kepada Yakub, dan malah menggantinya dengan kutuk. Ini bukanlah hal yang tidak lazim terjadi di masa itu. Namun, Ishak yang telah melihat rencana Tuhan tidak melakukannya. Inilah yang dimaksud penulis Ibrani ketika mengatakan bahwa Ishak “… memandang jauh ke depan.” Ia buta, tidak hanya secara literal, tetapi juga dalam ketidaktaatannya akan rencana Tuhan. Namun, kini matanya dicelikkan saat melihat bagaimana Tuhan berdaulat, bahkan di tengah-tengah dirinya dan keluarganya yang penuh dosa.

Inilah iman Ishak. Bukan iman dari manusia-manusia yang sempurna, tetapi iman yang lahir ketika Tuhan mencelikkan mata orang-orang yang buta secara spiritual dan mereka memilih meresponi dengan ketaatan daripada kebebalan.

Sama seperti Ishak, kita mungkin hidup sengaja membutakan diri dengan apa yang Tuhan kehendaki. Sudah tahu jangan berhubungan dengan orang yang tidak seiman. Sudah tahu harus mengontrol pola makan dan berolahraga. Sudah tahu jangan memboros-boroskan uang. Namun, kita pura-pura buta. Pertanyaannya, maukah kita beriman seperti Ishak? Maukah kita “… memandang jauh ke depan” dan melihat kehendak Tuhan lebih daripada keinginan kita?

Refleksi Diri:

  • Apa hal yang Anda tahu salah, berdosa, melanggar perintah Tuhan, atau akan mengakibatkan dampak tidak baik di masa depan, tetapi tetap saja Anda lakukan?
  • Apakah Anda bersedia berhenti melakukannya? Bagaimana upaya Anda mewujudkannya?