Bagikan artikel ini :

Berdiri Teguh Sebagai Perantara

Selama lebih dari seratus tahun, Bangsa Israel hidup dibawah pimpinan tiga orang raja yang diurapi Tuhan, yaitu Saul, Daud, dan Salomo. Pada akhir masa hidup Raja Salomo, perang sipil terjadi, dan kerajaan pecah menjadi dua, yaitu Kerajaan Utara yang disebut Israel dan Kerajaan Selatan yang disebut Yehuda. Pemisahan kerajaan ini tetap berlangsung sampai pendudukan oleh bangsa lain, dan orang-orang Yahudi dibawa ke dalam pembuangan. Pendudukan Bangsa Asyur atas Israel pada tahun 722 SM, dan pendudukan Bangsa Babilonia atas Yehuda pada tahun 586 SM.

Sejak pemisahan kerajaan sampai pembuangan, ada satu periode selama dua ratus tahun, Kerajaan Utara memiliki sembilan belas raja yang semuanya jahat, “melakukan apa yang jahat pada pandangan Allah.” Di pihak lain, Kerajaan Selatan memiliki tujuh belas raja selama lebih dari tiga ratus tahun, delapan orang raja “mengikuti Tuhan Allah mereka”, tetapi sembilan orang dari mereka adalah orang-orang jahat. Setelah tujuh puluh tahun pembungan, Kerajaan Selatan kemudian diperbaharui oleh beberapa orang seperti Nehemia, Ezra, dan Zerubabel. Mereka kembali ke tanah nenek moyang mereka, dan memulihkan penyembahan kepada Allah yang benar.

Selama periode dari Kerajaan Utara dan Selatan tersebut, Tuhan mengutus nabi-nabi-Nya untuk membawa para pemimpin dan bangsa kepada pertobatan. Tetapi sebagian besar raja tidak peduli pada teguran bahkan menghina peringatan para nabi tersebut. Elia adalah salah satu nabi yang diutus oleh Tuhan. Ia pertama kali diperkenalkan pada pemerintahan Raja Ahab. Alkitab mencatat bahwa Raja Ahab adalah raja yang jahat di mata Tuhan lebih dari pada pendahulu-pendahulunya. Ia mengambil Izebel, anak Etbaal, raja orang Sidon, menjadi isterinya, sehingga ia pergi beribadah kepada Baal dan sujud menyembah kepadanya. Kemudian ia membuat mezbah untuk Baal itu di kuil Baal yang didirikannya di Samaria (1 Raj. 16:29-33).

Izebel, diperkenalkan di sini. Dalam Kitab Tawarikh – kitab yang menceritakan tentang sejarah Kerajaan Utara, kita tidak diberitahu tentang nama dari istri raja. Sekarang, secara tiba-tiba kita diperkenalkan nama seorang istri raja. Mengapa? Menandakan hadirnya seorang perempuan yang penting dalam sejarah Israel. Sejarah kelam. Pertama, Izebel adalah partner dominan dalam pernikahan. Dialah kekuasaan di balik istana. Izebel memerintah suaminya, kerajaan, dan oleh karena itu ia juga memerintah Israel. Kedua, Izebel adalah yang berinisiatif akan adanya penyembahan kepada Baal. Penyembahan kepada Baal tidak tertanam dalam hati bangsa Israel kecuali setelah akhirnya diperkenalkan kepada bangsa Israel karena pernikahan Ahab. Ketika Ahab menikahinya, Izebel membawa warisan agama bersamanya, pemujaan kepada Baal. Baal disembah karena ia dipercaya sebagai allah atas hujan dan kesuburan tanah, yang mengontrol musim, dan hasil ladang. Dan ketika penyembahan Baal masuk ke dalam Kerajaan Israel, kejahatan semakin bertambah.

Elia, nabi Allah, diutus dengan kekuatan penuh ke tengah-tengah masa di mana kejahatan semakin besar. Tubir rohani antara Allah dan manusia telah mencapai jarak yang maksimal, dan Elia berdiri ditengah sebagai perantara. Nama Elia berarti “Allahku adalah Yehovah” atau “TUHAN adalah Allahku”. Ahab dan Izebel memegang kuasa atas Israel, dan Baal adalah Allah yang mereka sembah. Tetapi Elia muncul ke tengah mereka, namanya memproklamirkan, “Aku memiliki satu Allah. Namanya adalah Yehovah. Dialah satu-satunya yang aku layani”. Dia datang dan membawa pesan kepada Raja Ahab, “Demi Tuhan yang hidup, Allah Israel, yang kulayani, sesungguhnya tidak akan ada embun atau hujan pada tahun-tahun ini, kecuali kalau kukatakan” (1 Raj. 17:1). Ketika semua yang disekelilingnya menyembah Baal, dia sendiri memproklamirkan dirinya sebagai hamba, “TUHAN, Allah Israel”, beritanya sebuah pernyataan celaka, “tidak ada embun, tidak ada hujan, kecuali kalau kukatakan”. Kepada Baal, kepada manusia, Elia katakan bahwa semua tidak akan mendapatkan hujan. Tanpa hujan, tidak akan ada hasil ladang. Ternak akan mati. Manusia akan mati.

Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari kemunculan Elia. Pertama, Allah mencari orang-orang khusus pada masa-masa sulit. Orang yang dapat menjadi perantara, meskipun seorang diri. Orang yang dapat menyinari kegelapan pada masanya. Seorang yang dapat berkata, “Itu salah!” Seorang yang dapat berhadapan dengan penyembah berhala dan memproklamirkan, “TUHAN adalah Allah!” Dalam budaya kita – di sekolah, dikantor dan pabrik, di ruang makan, di ruang rapat, di halaman, kita butuh orang seperti ini. Kita membutuhkan para profesional, guru, tokoh masyarakat, ibu rumah tangga, warga negara yang mau memproklamasikan hal-hal yang berasal dari Allah.

Kedua, kita berdiri di hadapan Allah. Ketika kita berdiri sebagai perantara artinya kita sedang berdiri di hadapan Allah. Ketika panggilan datang, apakah Tuhan akan menemukan kita siap dan rela untuk bediri bagi-Nya? Akankah Dia menemukan hati kita menjadi milik-Nya sepenuhnya? Allah sedang mencari orang yang hatinya berpaut kepada-Nya, orang yang tidak bersatu dengan keadaan sekelilingnya.

Pencarian masih berlanjut. Tuhan kita masih mencari orang-orang yang mau membuat perbedaan. Bukan hanya bertahan berdasarkan pengalaman atau bersatu dengan keadaan dunia ini. Tidak peduli dengan peran apa pun yang Anda mainkan dalam kehidupan, Anda tetap penting untuk datang dan berdiri membela kebenaran dalam hari-hari dan tahun-tahun, pada saat ini dan nanti. [Ar2]

Disadur dari buku Charles R. Swindoll, “Elia: Pria Heroik dan Rendah Hati”. Bandung: Cipta Olah Pustaka, 2003. Pendahuluan dan Pasal satu, hal. 7-38.