Bagikan artikel ini :

Jika Terpaksa Binasa (If I Perish, I Perish)

Dalam sebuah pergumulan batin yang gelisah dan merana akan kondisi yang mengancam bangsanya, Ester mengatakan sebuah kalimat yang berbunyi: ‘Kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati.’ Seorang penafsir yang bernama Iain M. Duguid berkomentar tentang frasa tersebut sebagai sebuah sikap solidaritas Ester terhadap bangsanya: ‘Jadi Ester sepakat untuk menunjukkan solidaritas dengan komunitas orang-orang yahudi.’ Terkait dengan perihal solidaritas, maka Ester tidak sekadar menyatakan rasa simpatinya dengan kata-kata. Ester justru memperlihatkan aksi konkret atas rasa simpatinya lewat tindakan berpuasa dan keberanian untuk menghadap raja setelah berpuasa. Ester 4:16 mencatat: ‘… Aku serta dayang-dayangku pun akan berpuasa demikian, dan kemudian aku akan masuk menghadap raja, sungguhpun berlawanan dengan undang-undang…’ Jika melihat hal ini maka solidaritas seharusnya dimaknai sebagai perpaduan antara rasa simpati dan karya konkret.

Sejatinya aksi solidaritas yang demikian dinyatakan dengan sempurna oleh Yesus Kristus sendiri. Misalnya lewat catatan dalam Matius 14:13-14 yang berkata: ‘Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan hendak mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka. Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hatiNya oleh belaskasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.’ Atau pada kesempatan yang lain dalam catatan Matius 15:32: ‘Lalu Yesus memanggil murid-muridNya dan berkata: ‘Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu. Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di jalan.’ Setiap kali Yesus tergerak oleh rasa belaskasihan, maka Ia selalu dengan segera merespon untuk menolong. Belas kasih Yesus bukan sekadar perasaan yang emosional atau sentimental tanpa tindakan. Justru ketika Yesus melihat ada kebutuhan dalam diri seseorang atau orang banyak maka reaksi emosional dari kepedulianNya nyata lewat aksi yang konkret.

Sikap solidaritas yang ditunjukkan oleh Yesus sesungguhnya merupakan pernyataan sempurna akan jati diriNya. Oleh karena itu, Yesus tidak dapat menangguhkan diri untuk segera menolong orang yang sedang di dalam penderitaan. Vernon Grounds dalam tulisannya yang berjudul ‘Mampukah Kita Berbelas Kasih?’ mengatakan: ‘Sebagai pribadi yang tidak berdosa dan paling peka terhadap dosa, Yesus menaruh simpati pada orang-orang berdosa yang menderita sebagai akibat dari kebobrokan dosa yang diwarisi dan dimiliki dalam diri.’ Maka dari itu, tindakan solidaritas Yesus bukan sekadar berbuat baik lebih dari orang lain, melainkan terwujud lewat tindakan pengorbanan. Dan puncak pengorbanan yang dinyatakan oleh Yesus terlihat jelas ketika Dia menyerahkan diriNya untuk mati diatas kayu salib sebagai korban penebusan bagi dosa manusia. Surat 1 Yohanes 3:16a mengatakan: ‘Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawaNya untuk kita.’

Jika Yesus sudah meneladankan sikap solidaritas yang sempurna maka setiap murid Kristus juga harus menyatakan hal tersebut. Surat 1 Yohanes 3:16b-18 kembali melanjutkan dengan mengatakan: ‘Jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.’ Henry Nouwen dalam bukunya The Selfless Way of Christ juga mengatakan: ‘Panggilan kita sebagai orang Kristen ialah mengikut Yesus di jalan yang sudah ditunjukkanNya – turun dari surga dan menjadi manusia – dan menjadi saksi belaskasih Tuhan di dalam situasi yang nyata dari waktu dan tempat kita.’ Hal ini sebenarnya menegaskan kembali akan panggilan dari setiap orang Kristen yakni meneladani apa yang dilakukan oleh Yesus Kristus sendiri yakni mengasihi dengan perbuatan. Lebih lanjut, Henri Nouwen dalam bukunya yang lain yakni Compassion: A Reflection on the Christian Life menegaskan: ‘Tindakan bersama dan untuk mereka yang menderita adalah ekspresi konkret dari kehidupan belaskasih dan kriteria puncak dari keberadaan seorang Kristen.’

Lalu, bagaimana setiap orang Kristen dapat menyatakan aksi solidaritas di dalam dunia ini sebagai wujud meneladani Yesus Kristus? Henri Nouwen kembali memberikan sebuah pencerahan akan hal ini, ‘Belaskasih terletak dipusat dari doa kita untuk sesama manusia. Ketika saya berdoa untuk dunia, saya menjadi seperti dunia; Ketika saya berdoa untuk kebutuhan berjuta-juta orang yang tiada habisnya, jiwa saya meluas dan ingin merengkuh mereka semuanya dan membawanya ke hadapan Allah. Namun di dalam pengalaman itu, saya menyadari bahwa belaskasih itu bukanlah milik saya melainkan kasih karunia Allah bagi saya. Saya tidak dapat merengkuh dunia, tetapi Allah dapat. Saya tidak dapat berdoa, tetapi Allah dapat berdoa di dalam saya. Ketika Allah datang dan menjadi sama seperti kita, ketika Allah mengijinkan kita untuk masuk ke dalam kehidupan yang ilahi, itu memungkinkan kita untuk berbagi belaskasih yang tak berkesudahan.’

Melalui hal diatas, Nouwen mengingatkan kita satu prinsip penting dalam meneladani Yesus untuk menyatakan solidaritas bagi sesama, yakni: kesanggupan untuk menyatakan tindakan belaskasih – kepedulian bagi sesama berasal dari anugerahNya. Ini berarti bahwa tidak ada satu ruang bagi kita untuk menjadi sombong atas setiap tindakan belaskasih yang kita kerjakan bagi orang lain. Itu semua hanya semata-mata karena anugerahNya.

Ketika Ester menunjukkan sikap solidaritas kepada bangsanya, maka itu dinyatakan lewat tindakan berpuasa dan keberanian menghadap raja setelah berpuasa. Berpuasanya Ester bisa diartikan sebagai sebuah wujud penyandaran diri atau sikap kebergantungan penuh kepada anugerah Allah. Lalu keberanian untuk menghadap raja bisa dipahami sebagai wujud nyata kerelaan untuk berkorban bagi orang lain. Dari hal ini, kita mendapati bahwa Ester bisa menjadi cermin bagi kita sebagai seorang anak manusia dalam menyatakan solidaritas. Jika Ester berhasil mengerjakannya, maka setiap kita pun di dalam anugerahNya akan dimampukan. Pertanyaannya ialah maukah anda dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan belaskasihNya bagi dunia ini?(NT)