Bagikan artikel ini :

Menghampiri Meja Perjamuan Kudus dengan “Cara yang Tidak Layak”

Rasul Paulus dalam 1 Korintus 11:27 menuliskan, “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.” Ayat Alkitab ini telah dipakai secara luas oleh gereja-gereja untuk memperingatkan jemaat agar tidak sembarangan dalam menghadiri dan mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Namun, apa arti yang sebenarnya dari frase “cara yang tidak layak”? Apa yang dimaksud oleh Rasul Paulus?

Untuk mengerti arti dari ayat ini, kita perlu melihat konteksnya. Ayat 27 ini merupakan bagian dari satu perikop yang mencakup ayat 17 hingga ayat 34. Di dalam perikop ini Rasul Paulus pertama-tama memaparkan kepada jemaat di Korintus bahwa dia mendengar laporan tentang adanya perpecahan dalam jemaat di Korintus (ay. 19). Perpecahan yang dimaksud dalam perikop ini mengarah pada jurang antara yang kaya dan yang miskin.

Pada masa gereja mula-mula, orang-orang Kristen mengadakan pertemuan-pertemuan ibadah di rumah-rumah jemaat. Kemungkinan besar pertemuan-pertemuan ini diadakan di rumah para jemaat yang kaya yang memiliki rumah yang cukup luas untuk menampung sekian banyak orang. Di dalam pertemuan-pertemuan ini, secara umum selalu ada “perjamuan kasih” dimana tuan rumah mempersiapkan jamuan makan dan para tamu juga dibebaskan untuk membawa makanan. Perjamuan makan ini akan berujung pada Perjamuan Kudus dimana jemaat memecah-mecahkan roti (pola ini mengikuti pola Tuhan Yesus pada Perjamuan Kudus yang pertama).

Namun yang terjadi pada saat itu adalah jemaat yang kaya mampu hadir lebih awal, sedangkan jemaat yang adalah pekerja atau budak baru bisa bergabung setelah mereka selesai bekerja (pada masa penjajahan Romawi saat itu belum ada ketentuan hukum tentang libur pada hari Sabtu dan Minggu). Jemaat yang kaya juga membawa makanan dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Mereka berkumpul hanya dengan sesama jemaat kaya untuk menghabiskan makanan dan minuman yang mereka bawa sendiri. Pada saat jemaat yang pekerja atau budak tiba, terkadang mereka hanya makan makanan sisa atau bahkan tidak kebagian makanan. Oleh karena itu, Rasul Paulus di ayat 20-21 berkata, “Apabila kamu berkumpul, kamu bukanlah berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan. Sebab pada perjamuan itu tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk.”

Dalam perikop Alkitab tersebut Rasul Paulus melanjutkan dengan memberi peringatan kepada jemaat yang rakus dan egois sehingga tidak memperhatikan jemaat yang kurang berada (ay. 22). Pada ayat 23-26 Rasul Paulus memberikan alasan teologis mengapa jemaat Korintus harus menghentikan praktik-praktik yang seperti itu. Tuhan Yesus telah menyerahkan tubuh dan darahnya bagi jemaat sebagai contoh pemberian diri. Apa yang dilakukan oleh sebagian jemaat Korintus dalam konteks ini sangatlah bertentangan dengan teladan yang diberikan oleh Yesus. Selain itu, Perjamuan Kudus diadakan untuk merawat persatuan jemaat. Perjamuan Kudus diadakan untuk memperingati kematian Kristus, dan melalui kematian Kristus “tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Galatia 3:28). Namun yang terjadi pada jemaat Korintus saat itu adalah semakin ternampaknya jurang sosio-ekonomi di antara jemaat Kristus.

Setelah memberikan penjelasan teologis, Rasul Paulus melanjutkan dengan ayat yang menjadi pembahasan kita pada hari ini, yaitu ayat 27. Dengan mempertimbangkan konteks yang telah dipaparkan di atas, frase “cara yang tidak layak” pada ayat ini secara khusus mengacu kepada sikap yang egois, rakus, tidak menunjukkan keramahtamahan kepada tamu, tidak memperhatikan orang kurang berada yang ditunjukkan oleh sebagian jemaat Korintus, sikap-sikap yang pada akhirnya bukan membawa persatuan namun malah menyebabkan perpecahan di antara jemaat. Oleh karena itu, di ayat-ayat sesudahnya, Rasul Paulus menyimpulkan, “Karena itu, saudara-saudaraku, jika kamu berkumpul untuk makan, nantikanlah olehmu seorang akan yang lain. Kalau ada orang yang lapar, baiklah ia makan dahulu di rumahnya, supaya jangan kamu berkumpul.” (1 Korintus 11:33-34).

Aplikasi praktis yang dianjurkan oleh Rasul Paulus adalah untuk menguji diri (ay. 28). Mereka yang ikut Perjamuan Kudus namun tetap mempraktikkan sikap yang bertentangan dengan ajaran dan teladan Kristus akan menerima disiplin dari Allah (ay. 29, 32). Rasul Paulus mengundang jemaat Korintus untuk merenungkan apakah mereka telah menunjukkan sikap hidup serupa Kristus yang telah memberi diri-Nya. Secara khusus, Rasul Paulus rindu jemaat Korintus yang kaya menunjukkan sikap penguasaan diri. Mereka bisa menahan diri dengan tidak menghabiskan makanan yang tersedia di hadapan mereka, dengan menunggu jemaat yang adalah pekerja atau budak serta makan bersama-sama dengan mereka. Perjamuan kasih seharusnya menjadi suatu kesempatan dimana jemaat yang mampu bisa berbagi dengan jemaat yang kurang mampu. Secara umum, Rasul Paulus merindukan runtuhnya perpecahan dan terbangunnya persatuan di antara jemaat Tuhan. Untuk mencapai tujuan ini, jemaat perlu mengintrospeksi diri apakah mereka hanya berkumpul dengan jemaat yang memiliki status sosio-ekonomi yang serupa dengan mereka saja. Dalam hal ini jemaat Tuhan didororong menunjukkan sikap yang membangun persekutuan dengan, memperhatikan, dan melayani jemaat yang berbeda status sosio-ekonominya dengan mereka.

Sebagai aplikasi dalam hidup jemaat Tuhan masa kini--dalam masa pengujian diri sebelum menerima Perjamuan Kudus--kita perlu merenungkan apakah dalam proses pemenuhan kepuasan diri (dalam hal makanan, pakaian, hiburan, dll.) kita telah menimbulkan iri hati kepada orang-orang yang lebih tidak mampu daripada kita? Selain itu, kita bisa merenungkan tentang sikap kita dalam memperlakukan orang-orang yang berbeda dengan kita, baik berbeda status ekonomi-sosial, usia, gender, ras, dll. Apakah kita selama ini membeda-bedakan orang? Apakah kita sudah memperhatikan serta berbagi dengan mereka yang membutuhkan, atau menguatkan mereka yang dalam posisi yang lemah? Apakah perkataan dan perbuatan kita lebih membawa persatuan atau malah menyebabkan perpecahan? * [YS]