Bagikan artikel ini :

Pola V

Apa yang ada di kepala Anda ketika membaca Filipi 2:1-11? “Tidak masuk akal. Bagaimana caranya aku bisa “menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus”? Aku ‘kan hanya manusia biasa sedangkan Dia adalah Allah!” Akhirnya Filipi 2:1-11 hanyalah menjadi sebuah perikop favorit orang Kristen tetapi jarang sekali dilakukan. Bagaimanapun, tidakkah Paulus memberikan sebuah nasihat yang terlalu berat? Apa yang ada dalam kepala rasul itu saat menyuruh jemaatnya melakukan hal ini?

Di zaman Paulus hidup, figur yang dijunjung tinggi bahkan dipuja sebagai Divi Filius—sebuah gelar yang berarti “anak Allah”—adalah para kaisar Romawi. Kaisar Romawi menjadi model bagi warga kekaisaran Romawi dan wilayah-wilayah jajahannya. Kaisar yang seperti apakah mereka? Mereka adalah kaisar-kaisar yang dalam kesombongan sekaligus kebengisannya menaklukkan daerah bangsa-bangsa lain untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Berita kemenangan ini disebut euangelion (“injil”) yang disebarluaskan di seluruh dunia. Untuk apa? Supaya seluruh dunia bertekuk lutut dan mengaku dengan lidah mereka bahwa kaisar Romawi adalah kyrios (“Tuhan”).

Apa yang terjadi jika ada yang berani melawan dan memberontak terhadap Romawi? Mudah saja. Kekaisaran Romawi telah menciptakan sebuah bentuk hukuman mati yang begitu mengerikan untuk mereka. Ditonton oleh banyak orang, mereka akan ditelanjangi, dicambuk sampai setengah mati, kemudian dipaksa memikul sebuah balok panjang yang beratnya sekitar 40-50 kilogram melewati jalanan yang ramai. Sebuah papan bertuliskan kesalahan mereka akan digantungkan dileher supaya setiap orang dapat membacanya. Sesampainya di tempat eksekusi, pada umumnya berlokasi diperlintasan lalu lintas yang ramai, kedua tangan mereka akan dipakukan pada balok kayu yang mereka pikul tadi. Balok itu kemudian dipasang ke balok kayu lain yang dipancang di atas tanah. Dalam keadaan sekarat dan tergantung itulah mereka menjadi tontontan sampai mereka mati. Pesannya jelas: “jika kamu berani melawan kaisar Romawi, maka kaisar yang memmunyai seluruh bumi akan mengambil segalanya darimu, bahkan pakaian, harga diri, dan tanah tempat kakimu berpijak.” Hukuman ini kejam bukan terutama karena penyiksaan fisik, melainkan karena penghinaannya. Hukuman mati ini kita kenal dengan sebutan salib.

Mungkin hal ini terasa barbar di telinga kita yang hidup di zaman modern yang menjunjung HAM. Namun, mempertahankan kekuasaan lewat teror dan kekejaman bukanlah sesuatu yang dianggap biadab dalam budaya masa itu. Gaya kepemimpinan para kaisar itu menjadi contoh diberbagai kelompok-kelompok masyarakat mulai dari yang terkecil hingga terbesar. Celakanya, termasuk di dalam gereja. Padahal, siapakah Sang Kepala gereja? Tidak lain dan tidak bukan adalah Yesus Kristus yang mati di atas salib yang penuh kehinaan tersebut! Itulah sebabnya Paulus membubuhkan himne Kristologi yang indah di dalam suratnya, yakni pada Flp 2:6-11. Ia ingin mengontraskan Tuhan Yesus dan kaisar Romawi tanpa secara gamblang menyebutkannya. Ia menantang jemaat Filipi untuk tidak hanya tahu mengenai Yesus Kristus, tetapi juga meneladaninya.

Himne ini dibagi menjadi dua bagian, yakni perendahan Kristus dalam ayat 6-8, kemudian dilanjutkan dengan peninggiannya dalam ayat 9-11. Di bagian pertama, kita membaca bagaimana Tuhan Yesus mengosongkan diri, mengambil rupa sebagai hamba, menjadi sama dengan manusia, merendahkan diri, dan taat sampai mati di kayu salib. Di bagian kedua, kita membaca Tuhan Yesus ditinggikan dan diberi nama di atas segala nama, sehingga semua lutut bertelut dan semua lidah mengaku bahwa Ia adalah Tuhan.

Pola menurun dan kemudian naik ini disebut sebagai Pola V oleh beberapa ahli biblika. Mungkin Anda merasa bahwa pola ini adalah pola biasa yang dialami oleh figur-figur yang sukses dan tokoh-tokoh protagonis dalam sebuah cerita atau film: dimulai dengan perjuangan, kesulitan, dan penderitaan, kemudian berakhir dengan kesuksesan dan keberhasilan. From zero to hero. Namun, Pola V dalam himne Kristologi ini berbeda. Jika Anda dengan teliti membaca ayat 6-8, Anda akan menemukan bahwa Tuhan Yesus adalah subjek dari semua kata kerja. Dengan kata lain, Ia secara aktif merendahkan diri-Nya hingga titik terendah. Sebaliknya, di ayat 9-11, Tuhan Yesus menjadi objek sedangkan Allah Bapa-lah yang menjadi subjeknya. Yesus pasif di dalam proses peninggian diri-Nya. Tentunya ini sangat berbeda dengan figur-figur dalam kisah sukses yang kita bayangkan. Mereka tentunya tidak secara rela, aktif, dan berinisiatif membawa diri mereka dalam situasi yang merugikan. Situasi-situasi tersebut datang sebagai penghambat atau halangan ketika mereka berjuang untuk mendaki ke atas guna meraih tujuan mereka. Yang Tuhan Yesus lakukan adalah sebaliknya. Ia justru berinsiatif merendahkan diri. Allah Bapa-lah yang kemudian meninggikan-Nya, bukan diri-Nya sendiri.

Kita yang sudah sangat familiar dengan Filipi 2:1-11 tidak mungkin dapat membayangkan kekagetan para jemaat Filipi. Berbeda dengan para kaisar Romawi yang berusaha meninggikan diri dengan menginjak-injak para seteru di bawah kaki mereka, Sang Kepala gereja yang adalah Raja di atas segala raja malah merendahkan diri-Nya diinjak-injak demi mengangkat para seteru-Nya dari maut. Itulah keajaiban Tuhan kita. Ia mendatangkan kerajaan-Nya di atas dunia, bukan kerajaan yang seperti kekaisaran Romawi atau kerajaan manapun di dunia, melainkan sebuah kerajaan yang mana segala sesuatunya terbalik. Kerajaan yang mana para warganya tidak berlomba-lomba untuk menjadi penguasa, melainkan berlomba-lomba untuk menjadi hamba. Kerajaan yang mana para warganya tidak menginjak-injak orang lain di bawah kaki mereka untuk menggapai puncak, melainkan membasuh kaki satu sama lain. Biarlah kelak Allah Bapa sendiri yang akan meninggikan mereka, sebagaimana Ia meninggikan Anak-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya sendiri.

Inilah inti Injil atau Kabar Baik yang sesungguhnya. Sayang sekali jika kita mengecilkan pesan Injil menjadi seperangkat doktrin soteriologi yang egosentris, yakni berpusat pada diri sendiri. Injil dianggap sebagai serentetan klaim, “AKU adalah manusia berdosa”, “AKU akan masuk neraka sesudah mati”, “AKU diselamatkan oleh Tuhan Yesus”, “jadi, AKU akan masuk surga sesudah mati.” Aku, aku, dan aku. Ujung-ujungnya selalu mengenai aku. Ini adalah pemahaman yang salah. Injil sebagaimana disaksikan Alkitab berpusat kepada Kristus yang menang atas dosa, maut, dan Iblis. Injil adalah berita bahwa kerajaan-Nya, kerajaan yang serba terbalik itu, telah datang. Kerajaan itu akan makin tersebar luas bukan melalui pertumpahan darah dan teror sebagaimana kekaisaran Romawi, melainkan melalui kasih dan kerendahan hati.

Jadi, apa yang Paulus tantang dari jemaat Filipi? Ia menantang mereka yaitu jika mereka sungguh-sungguh pengikut Kristus yang menjadikan-Nya Tuhan dan Raja, apakah patut mereka masih hidup meneladani kaisar Romawi? Tentu saja tidak. Sebagai warga kerajaan Allah, sudah sepatutnya mereka meneladani Raja mereka. Peninggian diri tidak boleh menjadi hal yang mereka kejar secara aktif, melainkan apa yang Allah Bapa karuniakan kepada mereka dalam perkenanan-Nya. Ingat Pola V.

Demikian pula dengan kita. Tuhan Yesus mati bukan supaya kita ongkang-ongkang kaki menunggu-Nya membawa kita ke surga. Jika ini yang menjadi pemikiran kita mungkin kita salah percaya yaitu percaya Injil yang egosentris, bukan Injil sebagaimana dikabarkan dalam Alkitab. Alkitab menyaksikan bahwa Tuhan Yesus ingin kita menjadi serupa dengan-Nya melalui teladan yang diberikan-Nya dalam kematian-Nya di atas kayu salib. Pertanyaannya adalah, maukah kita mengikuti Pola V yang telah diteladankan-Nya?*(DO)