Mengasihi tanpa batas [beyond limit]
Lukas 10:25-37
EKSPRESI PRIBADI
23 Juni 2018. Duabelas pemain sepakbola usia belasan tahun dan seorang pelatih mereka masuk ke Gua Tham Luang tidak jauh dari tempat tinggal mereka di Mae Sai District, Thailand Utara. Kelompok itu berencana menjelajah gua tersebut hanya sebentar, tetapi mereka tidak keluar dengan cara yang sama lebih dari dua minggu kemudian. Mereka terjebak oleh permukaan air naik yang menutup jalan keluar mereka. Mereka selamat karena ada banyak orang yang dari seluruh dunia datang hanya untuk satu tujuan - membawa mereka keluar dari gua. Para sukarelawan dari Amerika, Inggris, Belgia, Australia, dan banyak negara lain terlibat dalam misi penyelamatan dalam gua tersulit sepanjang sejarah ini. Sukarelawan ini sebenarnya dapat memilih berada nyaman di rumah mereka masing-masing sebagaimana banyak jutaan orang lainnya di seluruh dunia yang mengetahui peristiwa tersebut. Tetapi, mereka yang memilih untuk melakukan sesuatu yang membuat perbedaan. Mereka melakukan yang tidak pernah dilakukan. Seorang penyelam meninggal dunia dalam usaha penyelamatan tersebut karena ekstrimnya situasi saat itu.
Apa yang Anda pikirkan mengenai para penyelam yang keluar masuk gua untuk menyelamatkan tigabelas orang tersebut?
EKSPLORASI FIRMAN
“Guru, apa yang harus aku perbuat untuk mendapatkan hidup yang kekal?” (Mat. 10:25). Pertanyaan ahli Taurat ini adalah pertanyaan klasik sepanjang masa tentang kehidupan. Di suatu titik dalam kehidupan, semua orang akan bertanya apa yang dapat kita lakukan untuk mendapatkan apa yang terbaik yang dunia (dan Tuhan) tawarkan. Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut dengan gamblang, Tuhan Yesus balik bertanya apa yang Ia ketahui. Lalu terjadilah bahwa Ia yang bertanya adalah juga yang menjawab pertanyaan tersebut, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (ay. 27). Adalah penting untuk diperhatikan bahwa ahli Taurat tersebut memiliki pengetahuan akan kebenaran. Ia hanya perlu melakukannya. Tetapi, sama seperti mayoritas, Ia memiliki alasan untuk membenarkan kegagalannya melakukan. “Aku tahu bagaimana mengasihi Allah. Aku telah melakukan semua ritual agama yang ada. Tetapi, siapakah sesamaku manusia?”
Ada latar belakang kultural yang menjadi alasan dari pertanyaan ini. Dalam sebuah buku Yahudi kuno, Sirach 12:1-4, mengajarkan untuk tidak memberikan pertolongan kepada orang berdosa. Ahli Taurat itu sedang berusaha membangun tembok pemisah antara kelompok yang layak dikasihi dan tidak layak dikasihi. Ia menyiratkan bahwa tanggung jawab seorang yang mengasihi Allah hanyalah terbatas untuk mengasihi mereka yang layak dikasihi. Dalam pikirannya, tidak semua orang dapat disebut sebagai sesama yang layak untuk dikasihi. Atas pemikiran inilah Tuhan dengan cerdik menjawab dengan sebuah perumpamaan. Kisah ini kemudian menunjukkan dengan indah kemampuan Tuhan Yesus untuk menjelaskan sebuah konsep teologis yang nampaknya abstrak dalam isu kehidupan sehari-hari. Demikianlah dalam ayat-ayat berikutnya Tuhan Yesus menceritakan sebuah perumpamaan tentang seorang Samaria yang baik hati.
Adalah seorang yang berjalan dari Yerusalem ke Yerikho, tetapi Ia berjumpa dengan orang-orang jahat yang merampoknya dan menghajarnya habis-habisan. Dalam kondisi hampir mati, pria itu ditinggalkan begitu saja dipinggir jalan. Kemudian dikisahkan seorang imam dan seorang Lewi lewat jalan itu dalam kesempatan berbeda. Imam dan Lewi selalu diasumsikan sebagai orang baik yang pasti akan menolong orang yang membutuhkan. Iman dan Lewi juga tentu saja adalah sesama bagi ahli Taurat. Tetapi, sekalipun mereka melihat pria malang tersebut, mereka melewatinya begitu saja. Pura-pura tidak melihatnya. Mungkin mereka punya kesibukan lain yang mendesak. Mungkin mereka hanya tidak peduli. Entahlah. Tetapi, mereka pasti punya alasan untuk membiarkan pria malang itu mati di sana.
Untung saja, seorang lain yang melihat pria malang itu tidak berdiam diri. Dengan kasih, Ia membersihkan dan membalut luka-luka pria tersebut di pinggir jalan, mengangkatnya ke atas keledainya dan membawanya ke penginapan - dan lanjut merawatnya. Ia memberikan uang ekstra kepada pemilik penginapan untuk merawat pria malang tersebut. Bahkan, Ia menjaminkan diri dan nama baiknya untuk memastikan pria itu dirawat sampai sembuh. Pria yang baik hati itu adalah seorang Samaria, yang tentu saja dianggap sebagai “musuh” dan bukan sesama bagi ahli Taurat tersebut. Sampai di sini, Tuhan Yesus bertanya kepada ahli Taurat di hadapannya, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Jawabnya: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” (ay. 36-37).
“Pergilah, dan perbuatlah demikian!” Itulah yang Tuhan Yesus katakan sebagai pernyataan penutupnya pada ahli Taurat tersebut - dan untuk setiap orang percaya. Untuk kita hari ini. Kasih bukanlah sebuah topik untuk terus didiskusikan dan dikhotbahkan, tetapi adalah sebuah perbuatan aktif untuk kita hidupi. Kasih bukanlah sebuah bahan mentah untuk menulis buku best seller, tetapi sebuah kualitas untuk dikerjakan nyata. Kasih adalah kata kerja aktif. Siapapun yang mengasihi Allah akan diubahkan untuk menjadi pribadi yang mampu menolong sesama tanpa membuat kalkulasi layak tidak layak.
Bagaimana mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama seperti yang Tuhan rindukan? Dibutuhkan kepekaan (mata dan telinga) dan hati yang penuh belas kasihan. Perbedaan utama dari imam dan orang Lewi dengan orang Samaria dalam perumpamaan itu bukanlah soal apa yang mereka lihat dan dengar, tetapi soal apa yang mereka lakukan dengan apa yang mereka lihat dan dengar. Kasih sepatutnya melampaui segala perbedaan dan tembok yang memisahkan. Kasih adalah soal melihat kebutuhan, menjadi jawaban yang diperlukan dan melakukan sesuatu. Lebih dari sekadar berdoa (pasif), kita dipanggil menjadi jawaban doa untuk seseorang yang membutuhkan di sekitar kita (aktif).
APLIKASI KEHIDUPAN
PENDALAMAN
Apakah perbedaan yang seringkali menghambat Anda untuk menjadi “sesama” yang baik bagi mereka yang membutuhkan di sekitar Anda? Apa yang seringkali menjadi alasan Anda gagal menghidupi kasih Tuhan? Sharingkan!
PENERAPAN
Dalam minggu ini, mari kita belajar lebih peka dan aktif mencari kebutuhan untuk kita jawab dari orang-orang yang Tuhan tempatkan di sekitar kita.
SALING MENDOAKAN
Akhiri Care Group Anda dengan saling mendoakan satu dengan yang lain