Bagikan artikel ini :

Berhala Konsumerisme

Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku (Kel. 20:3). Ini perintah pertama dari 10 Perintah Allah. Penyembahan adalah kewajiban sentral makhluk ciptaan kepada Sang Pencipta. Penyembahan juga eksklusif bagi Tuhan Allah saja. Tidak boleh ada yang disembah dan dipuja selain Allah Tritunggal. Itu sebabnya, larangan memiliki ilah-ilah lain (berhala) ditempatkan di bagian terdepan dari perintah-perintah Allah. Manusia harus menyingkirkan segala berhala dalam hidup mereka.

Berhala bukan hanya ada dalam bentuk patung-patung yang diukir atau dipahat, dan bukan hanya dalam lukisan dan foto. Tim Keller menjelaskan bahwa berhala adalah “... segala sesuatu yang lebih penting bagimu daripada Allah. Segala sesuatu yang menyerap hati dan imaginasimu lebih dari Allah. Segala sesuatu yang engkau cari untuk memberikan apa yang hanya Allah dapat berikan. Segala sesuatu yang begitu sentral dan mendasar pada hidupmu, sehingga saat engkau kehilangannya, hidupmu merasa tidak ada artinya.” Maka segala sesuatu yang kelihatan maupun tak kelihatan, bahkan segala sesuatu yang pada dasarnya baik, seperti keluarga, pasangan, anak, pekerjaan, karir, dan sebagainya, dapat menjadi berhala saat mereka menggantikan posisi Allah dalam hidup kita.

Konsumerisme: Berhala Masyarakat Modern

Konsumerisme adalah gaya hidup yang berpijak pada konsumsi barang atau servis. Ia mendorong manusia hari ini untuk berbelanja dan mengkonsumsi barang atau produk lebih dari apa yang mereka perlukan dan butuhkan. Konsumerisme menanamkan kosep agar orang berpikir semakin banyak konsumsinya, hidup mereka akan semakin baik dan bahagia. Barang semakin bermerek, gengsi semakin meningkat, dan hidup semakin berharga. Konsumerisme menawarkan kepuasan dan kepenuhan dengan wisata ke tempat-tempat eksotik di seluruh dunia. Berbagai iklan memikat para penggemar menghabiskan uang untuk high-end product dan selera kelas atas. Konsumerisme telah menjadi berhala masyarakat modern.

Di balik berhala konsumerisme ada kekuatan si Jahat yang bekerja memanfaatkan kelemahan manusia untuk menjatuhkan mereka. Manusia memang diciptakan terbatas. Ia adalah makhluk yang selalu ada kebutuhan, dan yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Iblis memanfaatkan celah ini, menipu mereka untuk menjauh dari Allah, satu-satunya sumber kepuasan hidup mereka, serta mengalihkan mereka kepada barang ciptaan. Di Taman Eden, Adam dan Hawa tertipu, berpikir bahwa buah pohon pengetahuan baik dan jahat itu akan memberikan pemenuhan mereka hidup. Demikian juga manusia hari ini tertipu oleh si Jahat dengan taktik yang sama.

Segala tawaran kepuasan dan pemenuhan via konsumerisme adalah kosong belaka, seperti kata Pengkhotbah, “mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar” (Pkh. 1:8). Konsumerisme tidak dapat memuaskan hidup manusia, karena ia adalah allah palsu, ia adalah berhala yang kosong. Ia seperti air laut yang asin, yang tidak dapat menghilangkan dahaga. Sebaliknya semakin diminum, semakin haus.

Solusi Konsumerisme

Solusi konsumerisme bukanlah dengan sekedar mengadopsi gaya hidup minimalis, yang dengan sengaja hidup dengan barang dan harta milik seminimal mungkin. Hidup dengan barang seminimal mungkin tidak menyelesaikan konsumerisme sebagai berhala, tetapi hanya menggantikannya saja. Pada konsumerisme, pusat hidup diletakkan pada banyak barang. Sebaliknya pada gaya hidup minimalis, dialihkan kepada sedikit barang. Konsumerisme mengajarkan kepuasan dan arti hidup ditemukan pada banyak barang, sedangkan pada gaya hidup minimalis pada sedikit barang. Semakin sedikit barang yang dimiliki, hidup semakin mudah, puas, dan penuh. Maka baik konsumerisme maupun minimalis, kedua-duanya masih berpusat kepada barang itu sendiri. Kedua-duanya tetap menjadikan barang sebagai berhala.

Solusi konsumerisme (maupun gaya hidup minimalis) adalah mengembalikan hati manusia kepada Yesus Kristus. Ketika hati mengarah kepada Dia satu-satunya yang dapat memberikan kepuasan dan pemenuhan hidup manusia, maka barang tidak lagi menjadi berhala. Ada banyak atau sedikit barang tidak lagi mempengaruhi hidupnya. Oleh sebab itu, Paulus dapat berkata, “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah” (1 Tim. 6:8). Ia dapat hidup seadanya. Namun, ia juga dapat hidup dalam kelimpahan, maka ia juga dapat berkata, “Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan” (Flp. 4:12).***PD