Allahku, mengapa engkau meninggalkanku ?
Mazmur 22:1-16
Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.
- Mazmur 22:2-3
Sulit membayangkan sebuah doa yang lebih menyedihkan dari kata-kata pertama di Mazmur 22. Pemazmur bukan berdoa dengan berkata “Tuhan”, melainkan “Allahku, Allahku”. Sangat jauh perbedaan antara keduanya. Allah, begitu dekat di masa lalu, sekarang benar-benar tiada. Keheningan terasa begitu dalam. Siang dan malam berseru, tangisan pemazmur serasa tak terjawab. Paruh pertama dari Mazmur adalah pergantian antara masa lalu dan sekarang, antara gambaran iman kepercayaan di masa lalu dan kecemasan atas keadaan sekarang.
Pemazmur juga merasa hancur dengan mengatakan, “Aku ini cacing dan bukan orang” (ay. 7), setelah kehilangan semua rasa kemanusiaannya. Yang lain tidak hanya mengacuhkannya, bahkan lebih lagi datang dengan penghinaan. Mereka menertawakannya, “Biarlah Tuhan meluputkannya” (ay. 9). Di ambang kematian, pemazmur melihat tubuhnya sendiri terurai, “Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; ... Segala tulangku dapat kuhitung.” (ay. 15). Semua emosi dan misteri di dalam Mazmur ini berada di antara pernyataan sederhana ini, “Engkau tetap jauh” – dan permohonan yang rendah hati – “Janganlah jauh dari padaku”. Pemazmur menceritakan kesedihannya dan pada saat yang sama, tidak berhenti mengingat Allah serta memohon kepada-Nya. Ia tak meninggalkan-Nya, kendati pun Tuhan nampak bersembunyi.
Saudaraku, situasi yang akan paling mencobai iman kita adalah ketika hidup terasa berantakan dan Tuhan tidak kita temukan di manapun. Hidup penuh dengan misteri yang terbungkus rapi, tak dapat dikorek untuk mendapatkan kejelasan. Bertaburan sudah harapan diungkapkan, jutaan doa sudah melambung. Konsultasi pun tidak ketinggalan, namun semuanya bagaikan sebatas ungkapan saja. Allah nampaknya tidak bergeming.
Jika kau tanya mengapa Tuhan seperti itu? Aku hanya bisa menjawab, aku juga tidak bisa mengerti. Hanya aku tetap berharap, mari sama-sama kita tetap berseru kepada Tuhan Yesus. Kata orang, Engkau hanya sejauh doa, tapi itu tak kualami. Yang kurasa Kau begitu jauh, namun jangan biarkan sukmaku terkoyak dan asaku tergerus. Jangan terus berdiri jauh dari padaku, aku sudah di pinggir jurang keputusasaan. Ulurkanlah tangan kasih-Mu... aku terus menantikan-Mu.
Salam terus nantikan Tuhan.
Refleksi Diri:
• Kapan Anda pernah merasakan seperti ditinggalkan oleh Allah dan saat Anda berseru, Dia seperti dalam keheningan? Apa perasaan Anda waktu itu?
• Bagaimana Anda bisa terus berharap di tengah keheningan Allah tersebut?