Hidup Yang Sia-sia?
Pengkhotbah 1:1-2
“Ya TUHAN, beritahukanlah kepadaku ajalku, dan apa batas umurku, supaya aku mengetahui betapa fananya aku!”
- Mazmur 39:5
Kitab Pengkhotbah bisa jadi adalah kitab paling kontroversial di seluruh Alkitab. Bagaimana tidak? Sesudah si penulis, yakni Salomo, memperkenalkan diri, ia memberikan moto hidupnya: Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Kata “sia-sia” dalam bahasa aslinya lima kali disebutkan di dalam ayat 2 dan 38 kali secara keseluruhan, seolah-olah isi dari kitab Pengkhotbah hanyalah keluhan saja. Tentu hal ini membuat banyak orang bertanya-tanya. Tidak seharusnya Alkitab memberikan pesan-pesan yang meruntuhkan motivasi dan membuat lesu hati, bukan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita sebaiknya menelusuri bahasa aslinya. Menarik sekali diperhatikan bahwa kata Ibrani untuk “sia-sia” adalah hebel. Hebel mengingatkan kita kepada seseorang, yakni Habel, anak Adam dan Hawa yang dibunuh oleh kakaknya, Kain. Kata hebel yang berarti uap air sangat menggambarkan kehidupan Habel, hanya muncul di beberapa ayat, melakukan satu tindakan, yakni mempersembahkan korban dan tahu-tahu dibunuh. Bak pertunjukkan, Habel hanya seperti pemain figuran yang fungsinya menjadi intrumen untuk menunjukkan kejahatan kakaknya. Hanya seperti uap air. Sungguh hidup yang sia-sia!
Apakah benar demikian? Penulis Ibrani mencatat Habel sebagai salah satu pahlawan iman (Ibr. 11:4). Bahkan yang paling luar biasa, Tuhan Yesus mengingat dan menyebutnya sebagai “orang benar itu” (Mat. 23:35). Apakah hidup Habel sia-sia? Tentu tidak! Jadi, sepertinya kurang tepat jika hidup hebel dimengerti sebagai kesia-siaan. Inilah sebabnya beberapa ahli biblika kemudian menafsirkan kata hebel sebagai kefanaan. Ya, hidup Habel memang kefanaan belaka, tetapi kefanaan hidupnya tidak berarti hidupnya sia-sia.
Demikian pula dengan hidup kita. Hidup kita adalah hidup yang fana. Bahkan bisa jadi, Tuhan memanggil kita besok. Namun, apakah ini berarti kita harus hidup serampangan dalam materialisme dan hedonisme? Tidak! Bapa Gereja Agustinus mengatakan, “Rawatlah tubuhmu seolah-olah kamu akan hidup selamanya; rawatlah jiwamu seolah-olah kamu akan mati besok.”
Intinya, Tuhan bisa saja memanggil kita esok hari. Karena itu, anggaplah hari ini adalah kesempatan terakhir untuk berkata jujur, berderma, menunjukkan kasih kepada orang- orang di sekeliling kita, dan sebagainya. Anda tentunya ingin Tuhan Yesus mengingat Anda seperti Dia mengingat Habel, “orang benar itu”, bukan?
Refleksi Diri:
- Bagaimana Anda memahami arti dari beriman dan berusaha?
- Apa masalah yang Anda hadapi saat ini? Sejauh mana Anda berusaha dan berdoa/ beriman dalam menghadapi masalah tersebut?