Iman Yang Menyelamatkan
Roma 10:4-13
Apa gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?
- Yakobus 2:14
Iman merupakan satu syarat yang diperlukan untuk keselamatan. Kita sebaiknya sungguh-sungguh memahami apa itu iman yang menyelamatkan dan iman yang tidak menyelamatkan. Setiap orang dapat mengaku pecaya Allah, tapi pengakuannya tidak otomatis menyelamatkannya. Setan-setan pun percaya akan eksistensi keesaan Allah, tapi mereka tidak diselamatkan (Yak. 2:19).
Iman yang menyelamatkan memiliki beberapa unsur penting, mencangkup:
(1) Melibatkan pengetahuan secara intelektual. Seseorang menerima keselamatan karena ia sebelumnya telah tahu apa yang sudah dilakukan Allah melalui Yesus Kristus. Bolehkah seorang ayah berkata kepada anaknya, “Nak, tidak masalah jika kamu percaya Pak Iwan, tetangga kita, sebagai ayahmu, asal kamu tulus dan sungguh-sungguh memercayainya?” Ini konyol, bukan? Iman yang menyelamatkan bukan iman yang buta, tapi melibatkan akal pengetahuan yang jelas akan objek iman. Alkitab tidak berkata, “Percaya saja”, tetapi “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus.” (Kis. 16:31; Rm.10:9-10). Iman yang menyelamatkan melibatkan pengetahuan secara intelektual akan kebenaran Injil di dalam pribadi dan karya Kristus.
(2) Melibatkan pengakuan atau persetujuan dengan Kristus. Meskipun seseorang mengerti dan mengakui kebenaran Injil, ia belum memiliki iman yang menyelamatkan. Seorang mahasiswa teologi Kristen bisa mendapat nilai A dalam ujian teologi, tetapi bisa saja ia tidak setuju akan kebenaran Alkitab yang dibaca dan dipelajarinya, bukan? Jadi iman yang menyelamatkan tidak cukup hanya mengetahui sejumlah kenyataan atau fakta kebenaran, kita harus menyetujuinya. Iman adalah persetujuan hati kita terhadap kebenaran yang kita ketahui.
(3) Melibatkan penyerahan diri secara total kepada Kristus. Kepercayaan yang melibatkan penyerahan dan ketergantungan diri kepada Injil merupakan syarat keselamatan yang dituntut Kristus. Misalnya, kita memercayai sebuah kursi cukup kuat untuk menopang tubuh, tetapi jika tidak menyerahkan diri kita duduk di kursi tersebut maka itu bukan kepercayaan yang sejati.
Jadi kepercayaan secara pribadi terjadi setelah memiliki pengetahuan secara intelektual akan kebenaran atau fakta-fakta tentang Yesus, kemudian mempunyai pengakuan akan keindahan Kristus, dan menyerahkan diri secara pribadi kepada Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan. Itulah iman yang menyelamatkan.
Refleksi Diri:
- Apakah Anda sudah memiliki iman yang menyelamatkan?
- Sudahkan Anda melibatkan diri dalam ketiga hal di atas? Mana yang perlu Anda tingkatkan?