Jadilah Garam, Si Pembawa Rasa
Matius 5:13-16
Dan tiap-tiap persembahanmu yang berupa korban sajian haruslah kaububuhi garam, janganlah kaulalaikan garam perjanjian Allahmu dari korban sajianmu; beserta segala persembahanmu haruslah kaupersembahkan garam.
- Imamat 2:13
Perhatikan ayat di atas. Kenapa sampai ditekankan berulang-ulang tentang garam, ya? Saya membaca beberapa referensi, ternyata fungsi garam memang penting untuk mengawetkan, memberi rasa, pengikat tekstur pada makanan, pengurang pahit, dan memberi warna makanan jadi lebih menarik. Makanan jadi tahan lama dan menarik dipandang mata karena garam. Ingat ada pepatah: bagaikan sayur tanpa garam. Artinya tanpa garam, masakan akan hambar, tidak nikmat, nggak mak nyuss. Sukacitanya makan bukan karena mewahnya atau mahalnya makanan, tapi karena garam. Jadi, garam itu penting, ia membawa sukacita dan pemberi rasa.
Di dalam Alkitab, garam harus dibubuhkan pada korban sajian. Garamnya sendiri disebut garam perjanjian. Garam ini melambangkan persahabatan dan persekutuan dengan Tuhan. Persekutuan ini erat kaitannya dengan panggilan hidup kita sebagai murid Kristus, yaitu menjadi terang dan garam. Setiap orang yang ingin menjadi garam bagi dunia harus memiliki persekutuan yang erat dengan Tuhan.
Garam juga melambangkan orang-orang kudus yang memiliki kasih karunia di dalam hatinya. Kita yang percaya Yesus dan telah menerima anugerah kasih karunia adalah garam-garam di tengah dunia. Keberadaan kita hendaklah memberi rasa bagi lingkungan di mana kita berada. Sebagaimana prinsip membubuhkan garam pada korban persembahan dalam Perjanjian Lama, maka hidup kita juga harus membubuhkan garam bagi orang-orang terdekat yang ada di sekitar kita. Dengan demikian korban persembahan tersebut menjadi berharga dan mulia di hadapan Tuhan.
Hal inilah yang harus kita lakoni di sepanjang hidup kita. Ajukan pertanyaan-pertanyaan berikut kepada diri sendiri: apakah ada sukacita dalam hidup kita? Apakah kita sudah menjadi pembawa sukacita? Apakah kehadiran kita memberi rasa dan warna? Kalau belum, itu artinya kita lupa membubuhi garam. Hidup yang berkenan bagi Tuhan Yesus adalah hidup yang dibubuhi garam.
Catatan: ingat ya jadilah garam dunia, tapi bukan garam dalam arti literal, hehehe... Nanti rame-rame, setelah baca renungan hari ini, bapak dan ibu yang punya hipertensi bilang, “Penulis renungan hari ini menyuruh saya tambah garam.” Bukan, tidak begitu yah… hahaha...
Refleksi diri:
- Apakah hidup Anda sudah dibubuhi garam sehingga memberi rasa bagi orang-orang di sekitar Anda?
- Apa tindakan konkrit yang bisa Anda lakukan supaya bisa menjadi garam bagi dunia?