Jangan Jadi "Yes Man"
Pengkhotbah 10:16-17
Siapa menegur orang akan kemudian lebih disayangi dari pada orang yang menjilat.
- Amsal 28:23
Di abad 4 SM, Alexander the Great atau Iskandar Agung, seorang raja Yunani, pergi jauh-jauh ke Korintus untuk bertemu dengan seorang filsuf nyentrik bernama Diogenes. Seluruh rakyat dan pembesar Korintus menyambutnya, tetapi Alexander memusatkan matanya hanya kepada filsuf tua yang tengah berjemur santai di bawah matahari di sebelah gentong yang selama ini menjadi tempat tidurnya. Alexander menghampiri
Diogenes, menyapa dan bertanya kepada sang filsuf apakah ada yang ia inginkan dan sang raja akan mengabulkannya. “Ya,” jawab Diogenes, “menyingkirlah dari matahariku.” Alexander, raja besar yang telah memperluas kekuasaannya sampai ke benua Eropa, Asia, dan Afrika, begitu terperanjat dan terkagum akan jawaban sang filsuf miskin, sampai-sampai berkata, “Jika aku bukan Alexander, aku harap aku adalah Diogenes!” Diogenes pun menyahut, “Jika aku bukan Diogenes, aku pun berharap aku adalah Diogenes!”
Ketika berhadapan dengan seorang penguasa, pemimpin atau orang berjabatan tinggi, seseorang akan melakukan kebalikan dari apa yang dilakukan Diogenes, yakni menjadi penjilat dan “yes man”. Kenapa? Karena ia ingin meraup keuntungan dari orang besar tersebut. Inilah yang menjadi peringatan Raja Salomo pada bagian ini: Jangan sampai orangorang yang menduduki jabatan kepemimpinan adalah orang yang kekanak-kanakan dan senang dipuji-puji oleh para “yes-man”.
Sayang sekali jika hal ini terjadi dalam suatu negara ataupun organisasi. Sifat saling menyelamatkan diri sendiri di dalam sebuah organisasi (“self-congratulatory attitude”) tanpa ada yang berani mengkritik dan menyatakan kebenaran. Akibatnya, para pemimpin akan buta terhadap kelemahannya dan akan berakhir dengan kerugian di semua pihak. Bukan ini yang dilakukan para tokoh Alkitab. Bandingkan saja perilaku aniel dan para pejabat besar di hadapan Raja Darius (Dan. 6). Lihat saja murid-murid Tuhan Yesus, khususnya Rasul Paulus, di zaman gereja mula-mula. Mereka tidak berusaha menjilat para penguasa ketika diperhadapkan kepada mereka. Mereka tetap teguh pada prinsipnya. Mengapa? Karena mereka sadar bahwa orang-orang besar, bahkan raja sekalipun, terbatas pengetahuan dan kekuasaannya (Pkh. 8:7-8).
Sadarilah, kita tentu boleh memberi dan menerima pujian. Namun, biarlah pujian itu tulus dan bukan untuk menjilat demi keuntungan pribadi.
Refleksi Diri:
- Bagaimana sikap Anda ketika berhadapan dengan orang-orang yang posisinya di atas? Mengapa Anda bersikap demikian?
- Apakah Anda sebagai seorang pemimpin, sulit menerima kritikan dan hanya suka mendengar pujian?