My Whole Life Is A lie!
Amos 2:4-5
“Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.”
- Kolose 2:8
Jika Anda adalah generasi Milenial seperti saya atau generasi yang lebih muda, Anda mungkin pernah melihat dan membaca di internet, meme (semacam cuplikan gambar dari acara televisi/film yang dimodifikasi dengan tambahan kata-kata/tulisan dengan tujuan melucu dan menghibur) dengan tulisan seperti judul renungan ini. Artinya adalah seluruh hidupku adalah kebohongan! Barangkali Anda pernah mendengar contoh ini: di kalangan awam, tomat digolongkan sebagai sayur-mayur. Nyatanya, tomat adalah buah. “My whole life is a lie!”
Kalau kebohongan yang kita pegang seumur hidup sesepele tomat adalah sayur, itu tidak menjadi masalah. Namun, sama seperti orang-orang Yehuda yang mendapat teguran dari Tuhan (ay. 4-5), kita pun disesatkan oleh “dewa-dewa kebohongan” hingga kita pun “menolak hukum Tuhan dan tidak berpegang pada ketetapan-ketetapan-Nya.”
Tentu saja, kita tidak sedang menyembah dewa-dewa lain. Namun seringkali, ada kebohongan yang terselubung di dalam diri kita yang bahkan mungkin kita sendiri tidak sadari bahwa kita terkecoh olehnya, dan karenanya kita berkompromi terhadap perintah Tuhan.
Kebohongan seperti apakah itu? Mungkin kebohongan itu berbunyi, “Time is money” (waktu adalah uang). Akibatnya, Anda melalaikan hari peristirahatan yang diberikan Tuhan dan tetap bekerja, bahkan mengikutsertakan orang-orang lain seperti keluarga atau pegawai Anda untuk tidak menikmati hari peristirahatan mereka. Atau kebohongan Anda berbunyi: anak adalah investasi masa depan. Akibatnya, Anda menjadi orangtua yang penuh tuntutan kepada anak-anak tetapi di sisi lain berpikir bahwa Anda cukup memenuhi mereka dengan hal-hal materi, bukan dengan kasih dan perhatian. Atau, bagi Anda yang seusia saya, kebohongan Anda berbunyi, “Senior-seniorku (entah dalam pekerjaan atau organisasi gereja) tidak tahu apa-apa. Mereka terlalu kolot dan tidak berani menerima perubahan.” Akibatnya, kita tidak mendengarkan nasihat mereka yang sudah makan asam garam lebih banyak daripada kita makan nasi, sebagaimana Rehabeam mengabaikan penasihat-penasihat ayahnya (1Raj. 12:6-15).
Hati-hati dengan filsafat-filsafat kosong yang Anda percayai, baik disadari maupun tidak. Apakah kita percaya kepada Tuhan Yesus kita yang terbukti setia atau kepada “dewa-dewa kebohongan” yang jelas-jelas akan menyesatkan kita?
Refleksi diri:
- Apa “dewa-dewa kebohongan” yang disadari atau tidak telah menguasai hidup Anda?
- Adakah perintah-perintah Tuhan yang Anda abaikan karena kebohongan tersebut? Jika ya, apa yang ingin Anda lakukan untuk menghilangkannya?