Pasangan Dipuji, Siapa Yang Senang?
Kidung Agung 6:9b-10
Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
- Matius 22:39
“Wah, senang ya, pak, punya istri yang bekerja. Ada penghasilan tambahan!”
“Senang apanya? Sekarang saya malah nggak diurus sama sekali!”
“Untungnya ibu, punya suami bisa bantu ngurus anak!”
“Apa untungnya? Suami saya suka ngomel kalau cara didik saya nggak sama dengan dia!”
Kecuali kehidupan pernikahan Anda benar-benar bermasalah, Anda pasti akan pernah mendengar pujian tentang pasangan Anda yang dilayangkan kepada Anda, bukan langsung kepadanya. Apalagi kita bergereja dengan budaya timur yang menuntut Anda terus menampilkan keharmonisan kepada seantero jemaat. Tak ayal pujian datang. Pertanyaannya, bagaimana reaksi Anda mendengar pujian tersebut? Alih-alih menerima pujian tersebut seolah Anda sendiri yang dipuji, apakah Anda justru menepisnya seperti dialog di atas?
Si suami di dalam Kidung Agung melanjutkan kembali puji-pujiannya kepada sang kekasih, tetapi kini menyampaikan apa yang menjadi pujian orang lain, yakni para putri, selir, dan permaisuri. Gadis-gadis ini memandang penuh kekaguman ketika si istri yang menemukan suaminya di ladang pengembalaan, berlari menghampirinya. Ketika baru muncul di ujung horizon, si istri terlihat seperti fajar merekah. Mendekati ladang, ia bagaikan bulan. Saat sampai pada suaminya, ia bercahaya bagaikan surya. Sang raja mendengar puji-pujian ini, bukan menepisnya dengan perkataan, “Apanya? Baru saja semalaman ia mengabaikanku!” melainkan menyampaikannya kepada si istri. Ia turut senang ketika pasangannya dipuji. Ada sebuah lagu berbahasa Jepang yang sebaris liriknya berkata demikian, kamu mendapat pujian dari seseorang dan akulah yang menjadi senang karenanya.
Ketika mendengar pujian terhadap pasangan Anda, wajar bila Anda pun merasa senang dan bukannya malah menepisnya. Namun, kita adalah manusia berdosa dan dosa mematikan perasaan senang, lalu menggantikannya dengan kekesalan. Mungkin Anda merasa tersaingi sehingga jadi malu terhadap diri sendiri atau merasa pasangan Anda tidak cukup baik untuk diri Anda. Meski tidak menepis pujian dengan kata-kata langsung, mungkin sekali Anda berpikir dalam hati, oh, kamu belum lihat tingkahnya di rumah.
Jika Anda mengasihi sesama manusia, khususnya pasangan Anda, seperti diri sendiri, tidakkah pujian orang lain harusnya menjadi pujian bagi diri Anda juga?
Refleksi Diri:
- Apa saja kualitas baik yang dilihat orang lain tentang pasangan Anda? Setujukah Anda?
- Bagaimana respons dan perasaan Anda ketika mendengar pujian tersebut? Apakah Anda menyampaikan pujian tersebut kepada pasangan atau justru menyangkalnya?