Plester saja
Yakobus 3:1-12
Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.
- Kolose 4:6
Sejak sembuh sakit, ada yang berubah dengan diri saya. Saya punya kebiasaan tidur dengan mulut mangap (bernapas dengan mulut) dan ngorok. Bernapas dengan mulut menambah cepat kering mulut saya yang memang sudah kering. Suatu waktu, saya bertemu seorang kenalan yang mengalami hal sama. Ia berhasil mengatasi hal itu dengan plester mulut. Sebelum tidur, ia memplester mulutnya dan cling, tidur sampai pagi.
Saya pikir tak ada salahnya untuk mencoba. Hari pertama, ngga nyaman. Pagi-pagi plester lengket di bibir, padahal saya pakai plester khusus medis, bukan plakban. Hari kedua plesternya kelonggaran, jadi tetap saja napasnya lewat mulut. Hari ketiga off dulu. Beberapa hari kemudian sudah terbiasa. Istri saya melaporkan ngorok saya sudah sembuh.
Yakobus mengatakan kepada pembacanya untuk hati-hati menggunakan lidah. Ia menggunakan ilustrasi tali kekang yang mengendalikan kuda dalam menjaga perkataan kita. Ada saatnya kita berkata-kata, ada saatnya untuk menutup mulut. Kalau tidak tahu lagi kapan buka mulut dan kapan tutup mulut, bisa-bisa harus dipaksa seperti saya. “Diplester” saja. Jika saat itu terjadi, tentu tidak nyaman.
Saya bosan baca berita politik. Politisi bicara untuk cari panggung dan sensasi. Isinya serang-menyerang. Tak membawa damai sejahtera. Tidak ada kata apresiasi. Bagaimana dengan ucapan Anda? Apakah ucapan Anda membangun? Apakah kata-kata Anda memberi penghiburan, penguatan, motivasi? Apakah posting-an Anda di media sosial bermanfaat? Apakah saya langsung forward ke grup lain ketika dapat berita atau video klip yang ngga tahu benar atau salah? Kalau tidak bisa berkata-kata yang baik, lebih baik kita cepat-cepat sadar dan tutup mulut sendiri, sebelum “diplester” atau “ditutup”.
Rasul Paulus mengatakan, “Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar.” Dalam bahasa Inggris, jangan hambar diterjemahkan “asin”. Kata-kata kita seperti garam yang memberi rasa nikmat pada makanan. Tanpa rasa asin, makanan tidak akan enak. Kata-kata kita hendaknya membahagiakan, menghibur, menguatkan orang yang mendengarnya. Kalau kita tidak tahu harus berkata-kata, lebih baik diam.
Refleksi Diri:
- Bagaimana selama ini Anda belajar mengendalikan dan menjaga perkataan Anda? Sudahkah usaha itu berhasil?
- Apakah kata-kata yang Anda ucapkan memberi “asin” pada lingkungan sekitar?