Saksi-saksi Iman: Peristiwa Tembok Yerikho
Ibrani 11:30; Yosua 6:15-20
Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.
- Galatia 1:10
Kisah runtuhnya tembok Yerikho seringkali disalahtafsirkan, seolah-olah jika memiliki iman berarti hal-hal spektakuler akan terjadi. Padahal “hal-hal spektakuler” bukanlah poin utama kisah Yerikho.
Coba bayangkan, Anda seorang Israel yang disuruh mengelilingi sambil menyoraki sebuah kota besar dengan tembok yang tak teruntuhkan sebanyak tiga belas kali dalam tujuh hari. Orang Yerikho pasti mengira Anda gila. Tak ayal Anda akan kelihatan bodoh. Mereka akan menertawakan dan mengolok-olok Anda selama tujuh hari. Telinga memanas dan wajah memerah karena malu. Rasanya ingin berhenti melakukan hal bodoh ini.
Meski tidak secara literal mengelilingi tembok, ada kalanya Tuhan mengizinkan bahkan menyuruh kita melakukan sesuatu yang membuat kita kelihatan bodoh, sok suci, tidak kekinian atau yang lainnya, dan penilaian orang-orang lain adalah hal yang paling menyita perhatian kita. Ketika ejekan “sok alim” dari teman-teman membuat kita enggan menjaga kekudusan. Ketika ejekan “radikal” atau “fundamentalis” membuat kita takut menyampaikan kebenaran. Bahkan, ketika gagal atau melakukan kesalahan, kita lebih memilih membenarkan diri sendiri dan menutup-nutupi kegagalan tersebut karena takut terlihat jelek di depan orang lain. Inilah peer pressure.
Namun, orang-orang Israel yang dipimpin Yosua tetap beriman di tengah ejekan-ejekan tersebut. Mereka tetap melakukan yang Tuhan suruh meski kelihatan bodoh bahkan gila. “Bodo’ amat apa kata orang-orang Yerikho, yang penting kita taat!” Itulah iman mereka. Marilah jujur kepada diri sendiri, sebagai orang Kristen yang tahu hidup kita adalah untuk memuliakan nama Tuhan. Kita lebih peduli kata orang tentang kita daripada kata orang tentang Tuhan, bukan? Akibatnya, hidup kita adalah untuk memuliakan nama sendiri. Nama Tuhan? “Yah, kalau aku ingat.”
Tetap menjaga kekudusan hidup, menyampaikan kebenaran, dan menegur kesalahan orang lain dalam kasih, mengakui kesalahan dan berkata “maaf”, menerima kegagalan pribadi tanpa menyalahkan pihak lain, menerima kritik dan saran dari junior, adalah hal-hal yang susah kita lakukan karena “apa kata orang tentang aku?” Namun, mana yang lebih penting: “apa kata orang tentang aku?” atau “apa kata Tuhan tentang aku?”
Refleksi Diri:
- Apakah Anda tipe orang yang mudah sekali dipengaruhi perkataan orang lain? Apakah penilaian orang tentang Anda sering Anda jadikan penentu dalam pengambilan keputusan?
- Apa hal yang Anda tahu Tuhan kehendaki tetapi tidak Anda lakukannya karena takut “apa kata orang tentang aku”?