Siapakah Yang Aku Layani?
1 Samuel 18:6-26
Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang.
—Amsal 14:30
Kemenangan Daud melawan Goliat, membuatnya menjadi orang yang dipercaya untuk memimpin pasukan perang Saul. Kepercayaan ini merupakan suatu kehormatan bagi Daud. Namun, ternyata di sisi lain menjadi ancaman bagi Raja Saul. Mengapa Saul merasa sangat terancam hingga membangkitkan amarahnya?
Dalam pikiran Saul, hanya satu yang layak dipuji, yaitu dirinya sendiri. Saul iri hati karena Daud mendapatkan pujian yang lebih dibandingkan dirinya. Iri hati memunculkan amarah yang begitu menguasai Saul sehingga apa yang ada di pikirannya hanyalah melenyapkan Daud.
Saul membiarkan iri hati bertumbuh subur di dalam hatinya sehingga roh jahat menguasai dan memengaruhi dirinya. Berbagai siasat Saul lakukan demi menjatuhkan dan membunuh Daud. Ia bahkan rela menyerahkan anaknya hanya demi mewujudkan keinginannya (ay. 17, 21). Saul tampak tidak memedulikan hukuman T uhan yang pernah diberikan kepadanya melalui Nabi Samuel atas ketidaksetiaannya di masa lampau (1Sam. 15:26, 33). Ia tetap merasa dirinya adalah raja yang sah.
Saul dalam perjalanan hidupnya telah jauh dari T uhan sehingga dirinya dikuasai oleh hati yang jahat. Kehidupannya sebagai raja tidak menunjukkan sikap hormat kepada Allah, meskipun telah ditegur dan diingatkan. Hidup menjauh dari T uhan hanya membuat seseorang terus mengejar apa yang dapat memuaskan dirinya sendiri. Hidup tanpa relasi yang dekat dengan Allah berarti membiarkan diri terus dikuasai oleh hati yang jahat yang bisa memunculkan perbuatan-perbuatan jahat.
Kita sebagai orang percaya juga rentan untuk jatuh ke dalam dosa seperti Saul. Di dalam kehidupan pelayanan di gereja, sadar atau tidak sadar terkadang kita pun memiliki kecenderungan suka menerima pujian dari orang lain. Kita senang jika dianggap penting di dalam suatu komunitas. Lama kelamaan, kita menganggap diri sebagai pusat di dalam komunitas gereja. Saat ada orang lain kemudian masuk ke dalam komunitas yang menggeser keberadaan kita, kita merasa terganggu. Perhatian orang lain teralihkan dari diri kita. Pada saat itu, kita seharusnya sadar siapa yang seharusnya menjadi pusat penyembahan kita. Siapa yang sesungguhnya kita layani? Kiranya hanya T uhan Yesus Kristus saja yang kita layani.
Refleksi Diri:
• Apa yang menjadi motivasi utama Anda melayani? Siapa sesungguhnya yang Anda layani: diri sendiri atau T uhan Yesus?
• Bagaimana cara Anda terhindar dari rasa iri hati atas keberhasilan pelayanan/pekerjaan orang lain di komunitas Anda?