“Sudah Tradisi…”
Pengkhotbah 4:13-16
Tidak seorang pun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabik baju itu, lalu makin besarlah koyaknya.
- Matius 9:16
Sebuah mitologi Mesir mengisahkan tentang dewa bernama Osiris. Osiris diceritakan sebagai dewa yang membangun Mesir dan memerintah sebagai raja pertama. Di bawah pemerintahannya, Mesir menjadi sebuah negara yang jaya. Seiring berjalannya waktu, Osiris menjadi tua, keras kepala, dan buta. Kesempatan itu dipakai oleh Seth, adik Osiris, untuk membunuhnya, lalu melemparkannya ke alam maut dan merebut takhtanya. Untungnya, Horus, putra Osiris, melawan Seth dan mengalahkannya. Horus kemudian turun ke alam maut untuk menyelamatkan Osiris. Bahkan, ia memberikan matanya kepada sang ayah yang buta agar bisa melihat.
Inilah gambaran tradisi. Bak Osiris, tradisi membangun suatu komunitas hingga mencapai kejayaannya. Namun, tradisi tersebut perlahan menjadi terlalu kaku dan buta, tidak mengikuti perkembangan zaman. Pada akhirnya, komunitas tersebut menjadi kacau, sama seperti Mesir di bawah pemerintahan Seth. Jadi, apa yang harus dilakukan? Horus melambangkan pembaruan yang dilakukan generasi muda. Namun, pembaruan itu bukan dicapai dengan pembangkangan atau pemberontakan, melainkan dengan membangkitkan kembali tradisi tersebut, seperti Horus menyelamatkan Osiris, dan memberikan mata yang baru untuk tradisi itu dapat melihat perkembangan zaman.
Pesan serupa juga disampaikan oleh Raja Salomo menggunakan perumpamaan raja tua yang bodoh dan anak muda yang miskin. Perbedaannya adalah Salomo mengakhiri dengan pesimis, yakni bahwa anak muda itu, yang mewakili pembaruan, pada akhirnya menjadi tradisi yang kaku dan buta pula sehingga diperlukan pembaruan lain.
Tradisi memang baik. Namun, ada kalanya tradisi menjadi begitu mengikat dan buta. Orang sekadar melakukannya karena “sudah tradisi... sejak zaman nenek moyang”, tanpa meninjau apakah tradisi tersebut masih relevan sekarang. Mirip dengan ahli-ahli Taurat yang memusuhi Tuhan Yesus karena Dia tidak menjalankan tradisi dan adat-istiadat nenek moyang.
Apa yang harus dilakukan? Seperti kata Salomo, segala pembaruan akan berakhir menjadi tradisi. Jadi, yang dibutuhkan adalah hikmat untuk meninjau mana tradisi yang perlu dipertahankan, dan mana yang harus dibuang. Jangan sampai oleh tradisi kita menjadi buta dan tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Refleksi Diri:
- Apakah ada tradisi atau adat istiadat tertentu yang Anda anut, entah dalam kehidupan pribadi atau dalam komunitas tertentu, yang tidak jelas tujuannya? Mengapa Anda tetap melakukannya?
- Bagaimana cara Anda memperbarui tradisi-tradisi yang tidak lagi relevan dalam komunitas di mana Anda berada (keluarga, tempat kerja, gereja, dan sebagainya)?