Toxic Masculinity
Pengkhotbah 3:3-4
Maka menangislah Yesus.
- Yohanes 11:35
Kata para orang tua, laki-laki tidak boleh menangis. Kalau cengeng, berarti bukan laki-laki sejati. Walhasil, mereka yang tumbuh dengan larangan seperti ini menjadi orang- orang yang tidak dapat mengekspresikan perasaannya secara benar, dingin, bahkan akan berusaha menunjukkan maskulinitasnya dengan cara-cara yang salah (misalkan dengan kekerasan, merundung, tawuran, dan sebagainya). Gejala ini disebut toxic masculinity.
Pada ayat bacaan hari ini, Raja Salomo mengatakan bahwa ada waktu untuk menangis dan meratap. Sekali lagi, ini bukan perintah, melainkan kenyataan. Ada keadaan-keadaan yang membuat siapa pun, entah seberapa besar kemaskulinannya, bisa menangis. Kehilangan orang yang dikasihi, musibah, bencana alam, kesakitan yang tidak tertahankan karena sebuah penyakit, dikhianati oleh orang yang dikasihi, dan sebagainya. Tidak perlu malu atau memaksakan diri menutup-nutupi tangisan. Menekan keinginan untuk mengekspresikan emosi justru tidak sehat secara psikologi.
Kita tidak mau “ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa”. Bukankah salah satu buah roh yang harus dimiliki orang Kristen adalah sukacita? Kita inginnya “ada waktu untuk tertawa kecil, ada waktu untuk tertawa besar.” Namun, bukan ini yang diteladankan Tuhan Yesus ketika sahabat-Nya, Lazarus, meninggal (Yoh. 11:1-4). Yesus justru menangis. Dia tidak menangis secara sembunyi-sembunyi, melainkan di depan orang banyak! (Yoh. 11:35-36). Ada banyak tafsiran rumit yang menjelaskan mengapa Tuhan Yesus menangis. Sepertinya hal yang tidak wajar Yesus menangisi Lazarus karena Dia akan membangkitkannya. Namun, saya pikir lebih baik menafsirkan secara sederhana saja: Tuhan Yesus sebagai manusia 100%, sama seperti kita, berduka karena kepergian teman-Nya, membayangkan penderitaan Lazarus sebelum kematiaannya, dan bersimpati dengan tangisan Marta dan Maria, saudari-saudari Lazarus.
Jika Tuhan Yesus yang adalah Allah, yang tahu bahwa Dia akan segera membangkitkan Lazarus, tidak berusaha menyembunyikan tangisan-Nya, mengapa kita merasa perlu sok kuat? Apakah karena Anda takut dilihat sebagai orang yang tidak beriman? Apakah karena ada orang-orang sok rohani yang menghakimi dan menegur kalau Anda berduka? Kalau ada, tunjukkan saja ayat Yohanes 11:35 ini.
Di sisi lain, Anda juga jangan sampai terlalu tenggelam dalam kesedihan hingga kehilangan pengharapan. Jika Anda saat ini sedang berduka, ambillah waktu untuk menangis dan mengekspresikan kesedihan. Namun, tentukan juga waktu kapan periode berduka itu berakhir dan kembali bangkit.
Refleksi Diri:
- Bagaimana cara Anda mengekspresikan kesedihan/kedukaan selama ini? Apakah ada tuntutan lingkungan untuk menyembunyikannya?
- Bagaimana sekarang Anda akan mengekspresikan kesedihan setelah membaca renungan ini?