Tulus Berkata “Maaf”
Pengkhotbah 10:1
Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh.
- Yakobus 5:16a
Nila setitik, rusak susu sebelanga. Peribahasa ini mirip dengan apa yang Salomo katakan di bagian yang kita baca. Tidak peduli berapa banyak perilaku baik kita selama ini, akan ada satu momen kita mengecewakan orang lain. Dari seribu satu kata-kata berhikmat yang terucap dari mulut kita, pasti ada satu dua yang membuat orang lain putus asa. Celakanya, justru hal-hal buruk inilah yang akan lebih sering diingat orang. Apalagi kalau selama ini kita terkenal sebagai orang baik. Satu kesalahan akan kelihatan sangat mencolok, bak baju putih yang terkena cipratan lumpur.
Jadi, bagaimana solusinya? Biasanya, orang memilih salah satu dari dua solusi ini: berusaha menampilkan pesona sesempurna mungkin atau menyerah dan berbuat semau gue saja. Pada pilihan pertama, seseorang akan berusaha untuk menutup-nutupi segala kejelekannya demi menunjukkan pribadi yang sempurna. Problemnya adalah solusi ini hanya
akan melelahkan diri sendiri. Ketika pada akhirnya ia melakukan kesalahan yang kentara di hadapan semua orang, yang ia lakukan adalah berusaha membenarkan dirinya sendiri dan menyalahkan pihak lain. Ini malah akan membuat dirinya semakin bersalah.
Pada pilihan kedua, seseorang sudah tidak peduli lagi akan orang lain. Tidak ada sopan santun, tidak ada usaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Karena seluruh hidupnya
memang tidak pernah melakukan hal yang baik, orang hanya akan berkata, “Gak heran…” ketika melihatnya melakukan kesalahan yang kentara di hadapan semua orang dan segera melupakan kesalahannya tersebut. Cara hidup seperti ini jelas berkebalikan dengan apa yang diajarkan Alkitab.
Apakah ada solusi lain? Ya, solusi tersebut adalah mengatakan “maaf” bukan karena ingin pencitraan, melainkan dengan sikap tulus dan sungguh-sungguh menyesali. Dengan
sungguh-sungguh meminta maaf dan bersedia menunjukkan kerapuhan serta kelemahan kita, orang-orang yang mengasihi kita tentunya akan tetap bahkan makin mengasihi dan
menerima kita. Bagaimana dengan mereka yang tetap menolak, lebih-lebih merendahkan kita sesudah kata “maaf” itu? Itu tanda bahwa sejak awal mereka tidak mengasihi Anda dan dengan demikian, ia bukanlah orang yang pantas untuk Anda kejar perkenannya.
Memang, tidak ada manusia sempurna. Justru untuk itulah kata “maaf” ada.
Refleksi Diri:
- Apakah Anda sering mengatakan “maaf”? Atau Anda termasuk orang yang cenderung keras kepala dan membenarkan diri ketika melakukan kesalahan?
- Bagaimana fakta Tuhan Yesus telah mengampuni segala dosa dan kesalahan Anda, membuat Anda lebih berani menerima dan mengakui kesalahan Anda?