Allah yang tidak berubah
Dalam teologi dikenal istilah imutabilitas Allah, yaitu bahwa Allah tidak berubah dalam keberadaan, kesempurnaan, tujuan dan janji-janji-Nya namun Ia berperasaan, dan bertindak dan merasa secara berbeda dalam meresponi situasi yang berbeda. Beberapa bagian Alkitab menyatakan hal ini, misalnya Mzm 102:28; Mal 3:6.
Tentang Allah yang tidak berubah dalam rancangan-Nya, pemazmur mengatakan, “tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hati-Nya turun-temurun”(Mzm 33:11). Sekali Allah menetapkan kehendak-Nya, pasti Ia menggenapkannya. Demikian pula dalam hal janji-Nya. Sekali Ia menjanjikan sesuatu, Ia tidak pernah tidak setia. “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?” (Bil 23:19).
Akan tetapi, dalam Alkitab tercatat bahwa Allah beberapa kali mengubah pikiran-Nya, misalnya dalam Kejadian 6:6 dikatakan, “maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.” Pertama-tama, harus ditegaskan bahwa “penyesalan” Allah bukanlah seperti penyesalan atau pertobatan manusia. Allah tidak mengalami kekagetan melihat berubahnya suatu keadaan. Ia maha tahu. Ia mengetahui masa depan. Juga Allah tidak pernah berdosa, sehingga penyesalan atau pertobatan (Inggris: repentance) Allah bukan karena kelalaian atau kedegilan hati-Nya.
Demikian pula dalam Yunus 3:10 dikatakan bahwa Allah menyesal telah merancang penghukuman bagi Niniwe karena mereka ternyata bertobat. Istilah “menyesal” adalah cara bertutur untuk menjelaskan sikap atau tindakan Allah dalam bahasa manusia yang terbatas sehingga tidak bisa dimaknai secara harafiah. Sama seperti dikatakan Allah berjalan-jalan di taman Eden. Tentu bukan dalam pengertian harafiah. Jadi, menyesal dalam hal ini harus dipahami sebagai ungkapan sikap Allah yang berkaitan dengan situasi yang terjadi pada saat itu. Jika suatu situasi berubah, tentu sikap Allah berubah. Singkatnya, Allah berespon berbeda terhadap situasi yang berubah. Dalam kasus Niniwe, setelah seruan pertobatan Yunus, mereka bertobat. Allah membatalkan hukuman-Nya karena seruan pertobatan Yunus berhasil. Dalam banyak kasus, Allah berespon berbeda terhadap situasi yang baru tetapi sama sekali Ia tidak pernah berubah dalam karakter atau keberadaan dan tujuan-Nya. Sejak semula, Ia memang tidak menghendaki mereka binasa. Lebih jelas dikatakan dalam Yeremia 18:7,8 “Ada kalanya Aku berkata tentang suatu bangsa dan tentangsuatu kerajaan bahwa Aku akan mencabut, merobohkan dan membinasakannya. Tetapi apabila bangsa yang terhadap siapa Aku berkata demikian telah bertobat dari kejahatannya, maka menyesallah Aku, bahwa Aku hendak menjatuhkan malapetaka yang Kurancangkan itu terhadap mereka.” Jika Allah tidak berespon berbeda terhadap perubahan manusia, maka apapun perbuatan manusia tidak akan ada bedanya di hadapan Allah dan Ia bukanlah Allah yang adil dan bermurah hati. Jadi, perubahan respon Allah tidak serta-merta menyatakan perubahan karakter, eksistensi dan tujuan Allah. Allah tetaplah Allah yang tidak berubah.
Ajaran tentang ketidakberubahan Allah adalah penting jika kita memikirkan beberapa hal. Pertama, jika misalnya Allah dapat berubah, maka perubahan itu dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk. Jika Allah berubah menjadi lebih baik, maka sekarang Dia bukanlah Pribadi terbaik yang kita percayai. Bagaimana kita yakin Dia adalah Pribadi yang terbaik sekarang? Sebaliknya, jika Dia dapat berubah menjadi buruk, maka Dia akan menjadi Allah seburuk apa? Jika Dia berubah menjadi sedikit jahat, bagaimana kita tahu jika Dia tidak akan berubah menjadi sangat jahat? Sulit untuk membayangkan hal ini. Bagaimana kita bisa percaya Allah yang dapat berubah? Bagaimana kita bisa memercayakan diri kepada-Nya?
Lebih jauh, jika Allah bisa berubah dalam tujuan-Nya, bagaimana kita bisa percaya pada janji-Nya? Misalnya, bahwa Yesus akan datang kembali memerintah langit dan bumi yang baru. Jika rancangan Allah bisa berubah, maka mungkin saja rancangan itu sudah berubah sekarang, sehingga pengharapan kita akan kedatangan kembali Yesus menjadi sia-sia. Atau jika Allah bisa berubah dalam janji-Nya, bagaimana kita bisa yakin sepenuhnya tentang hidup kekal? Jika Allah dapat berubah, maka seluruh dasar iman kita akan berantakan dan pemahaman kita tentang dunia menjadi kacau-balau. Padahal iman dan pengharapan kita sepenuhnya bergantung pada Pribadi yang sepenuhnya dapat dipercaya—karena Dia sepenuhnya dan semenjak kekekalan tidak berubah dalam keberadaan, kesempurnaan, tujuan dan janji-janji-Nya.*** BSB (rujukan: Wayne Grudem, Essential Teachings of the Christian Faith).