Bukan Ancaman Kebebasan
Thomas Negel, seorang professor filsafat terkemuka pernah berkata, ‘’Saya mau ateisme yang benar, meskipun saya tidak nyaman dengan fakta bahwa beberapa orang intelektual dan terkemuka yang saya kenal adalah orang beragama. Bukan hanya saya tidak percaya adanya Tuhan, saya berharap Tuhan tidak ada! Jika Tuhan tidak ada, tidak ada makna. Terlihat suram memang tetapi kita tidak perlu mempertanggungjawabkan tindakan kita.’’
Pernyataan dari Negel adalah pernyataan jujur dan sebuah perwakilan isi hati terdalam dari banyak orang yang tidak percaya Tuhan. Acapkali, sebab bukan karena mereka tidak menemukan bukti keberadaan Tuhan secara rasional, hanya mereka tidak suka konsekuensinya. ‘’Jika Tuhan ada, saya tidak dapat lagi menjadi Tuhan atas diri sendiri.’’ “Jika Tuhan ada, saya tidak dapat lagi melakukan berbagai kesenangan duniawi sesuka saya.’’ “Jika Tuhan tidak ada, maka saya bisa makan, minum dan menikah sesuka hati saya, karena bisa saja saya besok akan mati—dan hanya kehampaan yang menanti saya. Selagi hari itu belum tiba, mari menikmati hidup dan dunia!’’—demikianlah kurang lebih ekspresi dari mereka yang tidak percaya. Formulasi dogmatisnya bisa begini, ‘’Tuhan adalah ancaman kebebasan!’’ Namun benarkah? Sebetulnya pandangan bahwa kehadiran Tuhan mengancam kebebasan berangkat dari asumsi yang salah. Justru di dalam Tuhan dan di dalam relasi dengannya seseorang akan menemukan kebebasan yang sejati.
Firman menegaskan bahwa kebebasan lain di luar Tuhan justru akan membuat manusia semakin tidak bebas karena mereka sedang membiarkan diri mereka tertawan dan diperbudak oleh dosa dan nafsu yang tiada habis-habisnya, dan yang membinasakan (Amsal 16:25, “Ada jalan yang disangka lurus, tetapi ujungnya menuju maut”). Manusia berdosa lupa bahwa mereka telah mati secara rohani (Ef 2:1) dan telah terbelenggu oleh dosa dengan hebatnya, tetapi mereka malahan menjustifikasi dan merasionalisasi kondisi itu sebagai ‘’kebebasan’’, demikan ujar Mike Horton.
Kehadiran Tuhan dan kepercayaan terhadap Tuhan bukanlah suatu intervensi terhadap kebebasan. Sebaliknya, justru merupakan satu-satunya kondisi yang mana kebebasan manusia dapat ditemukan kembali. Seseorang yang percaya pada Kristus dan yang telah dibenarkan oleh-Nya oleh kuasa Anugerah-Nya, telah dibebaskan dari kungkungan dosa dan penghakiman dari hukum Taurat—sehingga dalam keselamatan yang diperoleh, seseorang dapat dengan leluasa/tanpa beban menaati hukum Taurat dan menolak dosa. Inilah justru kondisi kebebasan sejati yang memerdekakan!
Bagi orang percaya yang telah memperoleh kebebasan sejati, mereka juga memiliki sebuah kebebasan dalam tindakan untuk hidup dengan sukarela, bergerak hidup bagi Tuhan (love God) dan juga bagi sesama (love others), sebagaimana Luther katakan,
‘’I will therefore give myself as Christ to my neighbour ’’
(Aku akan memberikan diriku kepada yang lain seperti Kristus).
Pandangan Tuhan sebagai ancaman kebebasan, juga berangkat dari asumsi salah bahwa Tuhan berlaku bebas dengan sembarang dan acak. Dalam hal ini Micheal Allen pernah berkata, ‘’Kebebasan Allah bukan kuasa untuk melakukan segalanya sesuka hati untuk mendominasi dan mengontrol, namun justru demi kita dan bagi kita, untuk mengubahkan kita, dan menguatkan kita sehingga kita dapat menjadi partner yang setia dalam relasi kovenan.’’ Allah yang empunya kebebasan yang absolut itu adalah Allah yang sempurna dalam kebaikan dan racanganNya—(Maz 145:9; Yak 1:17). Ancaman kebebasan bukan lahir dari kondisi manusia di dalam Tuhan, tetapi di luar Tuhan. Sebagaimana seorang penulis himne bernama George Matheson pernah menuliskan paradoks yang indah ini,
‘’Make me a captive Lord, And then I shall be free’’
Buatlah aku menjadi tawananMu ya Tuhan, maka aku akan bebas!’’ (YCT)
Resensi Artikel dan bacaan lanjutan:
- Hans J. Hillerbrand’s collection, The Protestant Reformation (2009)
- Martin Luther, Bondage of the Will (1525)
Micheal Patrick Preciado, A Reformed View of Freedom (2019)