Crowd vs Community
Kasus pertama: Anda pergi ke mall. Anda bertemu dengan banyak orang asing yang tidak Anda kenal. Kemudian, Anda pergi ke gereja yang tidak pernah Anda hadiri sebelumnya. Sama seperti di mall, tempat ini pun dipenuhi oleh orang-orang asing yang tidak Anda kenal juga.
Jika demikian, apa bedanya?
Kasus kedua: Anda menghadiri reuni dengan teman-teman sekolah. Tentunya Anda mengenal mereka dengan baik. Anda bersenang-senang dan bernostalgia masa-masa SMA. Kemudian, Anda pergi ke gereja yang biasa Anda hadiri. Sama seperti di reuni, tempat ini pun dipenuhi oleh orang-orang yang Anda kenali.
Jika demikian, apa bedanya?
Jawabannya adalah: tidak peduli apakah Anda mengenal orang-orang yang berada di tempat tersebut atau tidak, ketika Anda berada di mall maupun reuni, Anda sedang berada di dalam sebuah crowd (kumpulan orang). Sebaliknya, ketika Anda berada di gereja, Anda berada di dalam sebuah community (komunitas)
Jadi, apa yang membedakan crowd dan community? Jawaban umum yang biasanya kita dengar mungkin adalah bahwa orang-orang yang berpartisipasi di dalam sebuah crowd tidak mengenal satu sama lain. Sebaliknya, orang-orang yang berada di salam sebuah community memiliki familiaritas dan keakraban satu sama lain. Jawaban ini tidak sepenuhnya tepat. Kita yang berada di gereja besar tentunya tidak mengenal semua anggota jemaat yang beribadah bersama kita. Namun, di dalam teologi Kristen, kita tidak akan mengatakan sekelompok partisipan dari sebuah ibadah sebagai crowd. Kita mengidentifikasikan mereka sebagai sebuah community. Hal yang sama berlaku untuk gereja kecil. Anda mengenal semua jemaat. Tetapi, karena gereja ini kecil, Anda makin sering berinteraksi dengan orang yang itu-itu saja sehingga menimbulkan banyak gesekan. Ada sesama tubuh Kristus yang, tidak hanya Anda tidak akrab, bahkan Anda menyimpan kepahitan dan secara intensional berusaha menghindarinya. Meski demikian, jika Anda berada di satu ruang ibadah yang sama dengan yang bersangkutan, Anda tetap akan mengatakan bahwa Anda berada dalam satu community dan bukan satu crowd dengannya.
Jadi, apa berbedaan fundamental dari crowd dan community? Perbedaan yang mendasar adalah bahwa community mengarahkan tujuan dan attention (perhatian) mereka kepada hal yang sama sementara crowd tidak.
Kembali ke contoh reuni. Tidak sepeduli seberapa dekatpun ada dengan teman-teman lama Anda, tidak peduli bagaimanapun Anda menamakan diri Anda "Komunitas alumni SD blah blah blah", Anda hanya crowd selama Anda tidak memiliki sebuah tujuan. Mungkin dulu Anda dipersatukan dengan identitas dan tujuan yang sama dengan teman-teman sekolah Anda. Namun sekarang tidak lagi. Anda berhenti sebagai komunitas dan menjadi "mantan" komunitas, jika boleh dinamakan demikian. Sebaliknya, ketika Anda pertama kali mengikuti pertemuan perdana sebuah pertemuan, misalnya CG gereja, Anda sudah berada di dalam sebuah komunitas meski Anda mungkin masih tidak tahu apa-apa tentang satu sama lain. Mengapa? Karena CG memiliki tujuan, yakni belajar Firman Tuhan dan menjadi murid Tuhan yang berkenan.
Poinnya adalah, community yang tidak memiliki tujuan, tidak peduli seberapapun akrabnya, hanyalah crowd dan bukan community.
Ketika sebuah komunitas mengapresiasi atau memberikan attention penuh kepada tujuan tersebut, di situlah celebration (perayaan) terjadi. Lihat saja komunitas pecinta K-POP yang menghadiri konser. Tujuan komunitas mereka adalah menikmati lagu atau kehadiran idol mereka. Di dalam konser K-POP yang mereka hadiri inilah mereka memberikan attention penuh kepada tujuan mereka, yakni idol mereka, tanpa distraksi. Celebration pun terjadi dan mereka pulang dengan sukacita.
Sangat menarik bahwa penelitian dari para psikolog menunjukkan bahwa tindakan-tindakan seperti ini (attention dan celebration) sebenarnya merupakan fenomena serupa dengan fenomena yang ditunjukkan dalam sebuah ibadah agamawi. Anggota komunitas K-POP, tidak peduli seberapapun ateisnya mereka, berkumpul untuk memuja sesosok objek yang kepadanya mereka memberikan attention penuh. Menarik bahwa para psikolog menyimpulkan bahwa celebration yang diadakan pun dapat digolongkan sebagai religious act (tindakan agamawi), yakni worship (pemujaan).
Namun, kita tahu bahwa komunitas pecinta K-POP melakukan religious act dan melayangkan worship kepada objek yang salah. Itulah sebabnya orang-orang yang menjadi objek yang salah tersebut dinamakan idol (berhala). Sebaliknya, di dalam gereja, ketika kita beribadah kita memberikan attention penuh dan mengadakan celebration kepada objek yang benar. Kita berfokus kepada Tuhan dan melayangkan worship kita kepada-Nya. Kita pulang dengan sukacita yang meluap-luap.
Menarik sekali bahwa Mazmur 98 memberitahukan kepada kita Tuhan seperti apa yang menjadi objek celebration kita: Allah yang menebus umat-Nya. Berbeda dengan agama-agama lain, kita tidak hanya memuja Tuhan yang menciptakan kita. Allah kita adalah satu-satunya Allah yang menyelamatkan kita.
Tidak hanya itu, kita tahu bahwa dengan kejatuhan manusia ke dalam dosa, tidak hanya manusia, bahkan seluruh ciptaan pun mengalami kejatuhan. Itulah sebabnya tanah dikutuk meski Adam yang melakukan dosa (Kejadian 3:17-19). Ketika Tuhan menebus kita dari dosa, Ia juga menebus seluruh ciptaan-Nya. Itulah sebabnya ayat 4-9 menceritakan tentang bumi, laut, sungai, gunung yang bersorak-sorak untuk Tuhan.
Apa artinya ini?
Artinya, celebration yang kita adakan untuk Tuhan tidak hanya dibatasi oleh tembok-tembok gedung gereja! Bahkan celebration ini tidak dibatasi oleh keanggotaan gereja atau denominasi, atau bahkan ras dan spesies! Community yang di dalamnya kita berpartisipasi bukan sekedar komunitas orang percaya, tetapi juga seluruh makhluk di setiap titik alam semesta! Inilah community terbesar yang pernah ada. Tidak hanya itu, community terbesar ini memiliki tujuan yang paling ultimat, yakni Tuhan sendiri! Keseluruhan community ini mengarahkan attention secara penuh kepada Tuhan. Itulah sebabnya, kita yang diberi anugerah untuk berpartisipasi dalam ibadah setiap minggu pulang dengan sukacita yang meluap-luap, jauh melampaui para K-POPers yang pulang dari konser.
Yah... Seharusnya itulah yang terjadi.
Kenyataannya, kita tidak pulang dari gereja dengan sukacita. Celebration yang kita adakan tidak terasa seperti celebration melainkan sebagai chore (kewajiban). Attention penuh yang seharusnya diberikan kepada Tuhan malah dibiarkan terdistraksi oleh hal-hal lain. Kita pulang tanpa sukacita.
Seorang rekan hamba Tuhan menceritakan kepada saya bahwa suatu kali di tempat pelayanannya (bukan GII) setiap pertemuan remaja selalu diawali dengan games. Penasaran ia bertanya kepada hamba Tuhan remaja yang melayani di gereja tersebut. Jawabannya sangat menarik, “Kalau kita tidak mulai dengan games, anak-anak akan malas beribadah.” Hah? Bukankah seharusnya memuji Tuhan, mendengarkan Firman-Nya, dan merasakan hadirat-Nya memberikan sukacita lebih dari sekedar games?
Secara tidak langsung, pola pikir bahwa memberikan attention penuh kepada Tuhan adalah hal membosankan telah merasuk dalam gereja, baik dalam liturgi bahkan program-program. Akibatnya, attention secara sengaja berusaha dialihkan ke hal lain (misalnya games atau kegiatan-kegiatan lain) dengan dalih, “Ini kan untuk mengakrabkan satu sama lain”, “Ini akan untuk menjalin persekutuan,” dan sebagainya.
Sekali lagi, kalau ada perkumpulan orang yang sekedar senang-senang, bahkan meski dilakukan di dalam gedung gereja dan oleh anggota gereja, tetap saja mereka adalah crowd dan bukan community. Komunitas K-POPers saja lebih baik. Setidaknya mereka punya tujuan dan dapat memberikan attention pada objek yang sama. Jangan sampai orang sekuler lebih mahir membangun community daripada tubuh Kristus sendiri.
Tentu saja, bukan berarti tidak boleh ada games. Yang penting untuk diingat adalah, hal yang pada akhirnya memberikan sukacita di dalam celebration kita kepada Tuhan adalah Tuhan sendiri yang adalah tujuan kita, bukan games maupun hal-hal yang lain. *[DBO]