Di Tengah Drama Sejarah
Kisah Daniel di gua singa memang adalah sebuah kisah yang sangat terkenal, bahkan sudah diketahui orang Kristen sejak mereka masih di kelas sekolah minggu. Sayangnya, banyak sekali detail serta latar belakang historis yang menarik dari kisah ini yang terlewatkan. Jadi, kita akan mencoba menggali lebih dalam mengenai konteks dari kisah ini.
Pertama, siapakah raja Darius yang dikisahkan di sini? Daniel 6:1 memberi sebuah keterangan pendek bahwa ia adalah seorang Media dan bahwa ia “menerima pemerintahan.” Apa maksudnya keterangan ini? Maksudnya adalah, Darius sebenarnya bukanlah seorang raja yang perkasa, gagah, berkuasa, dan hebat, seperti Nebukadnezar, raja Babel, atau Koresh (dalam bahasa Inggris “Cyrus the Great”), raja Persia yang menumpas kerajaan Babel. Yang sebenarnya terjadi adalah, pada tahun 539 SM, sekitar dua tahun sebelum orang-orang Israel kembali dari pembuangan atas maklumat Koresh, Koresh mengalahkan Babel yang pada zaman Nebukadnezar menjadi negara adikuasa. Oleh karena prestasi ini, Koresh menyebut dirinya “raja Babel, raja Sumeria dan Akadia, raja dari empat penjuru bumi” (“king of Babylon, king of Sumer and Akkad, king of the four corners of the world”). Koresh, raja yang digerakkan hatinya oleh Tuhan untuk mengembalikan umat-Nya ke tanah mereka, adalah raja yang begitu luar biasa.
Tidak demikian dengan Darius, orang Media. Memang, sempat ada masa dimana Media adalah kerajaan yang berjaya, bahkan lebih daripada Persia. Namun, sejak pemerintahan Koresh, Persia kini menjadi jauh lebih hebat daripada Media. Media tidak punya pilihan selain menjadi sekutu Persia. Hal ini seturut dengan nubuatan Daniel beberapa tahun silam—ketika kerajaan Babel masih berdiri di bawah pemerintahan Belsyasar (Dan. 8:1)—yang menggambarkan kerajaan Media-Persia sebagai “seekor domba jantan berdiri di depan sungai itu; tanduknya dua dan kedua tanduk itu tinggi, tetapi yang satu lebih tinggi dari yang lain, dan yang tinggi itu tumbuh terakhir” (Dan. 8:3). Tanduk yang lebih tinggi tetapi tumbuh terakhir adalah Persia. Kerajaan yang awalnya lebih kecil daripada Media, akhirnya menjadi lebih besar. Ingat bahwa pasal-pasal di dalam Kitab Daniel tidak ditulis secara kronologis. Jadi, meski dicatat di pasal 8, nubuat ini diberikan sebelum pasal 6.
Inilah sebabnya Daniel 6:29 memberikan sebuah keterangan penting, “pada zaman pemerintahan Darius dan pada zaman pemerintahan Koresh, orang Persia itu.” Mengapa keterangan mengenai Koresh perlu ditambahkan? Tidak lain dan tidak bukan karena Koresh-lah raja yang sesungguhnya, orang nomor satu di kerajaan Persia yang dengan keperkasaannya menumpas kerajaan Babel. Sementara Darius? Dia hanya orang nomor dua, bawahan Koresh yang disuruh mengurus sebuah wilayah taklukkannya, yakni wilayah yang dahulu merupakan kerajaan Babel. Ia ibarat bupati atau gubernur yang ditunjuk untuk menjalankan sebuah tugas.
Lebih jauh lagi, ada sebuah kisah menarik mengenai Koresh dan bagaimana ia membuat kerajaan Persia menjadi lebih berjaya daripada Media. Daniel 9:1 mencatat bahwa Darius adalah anak dari Ahasyweros. Penting untuk diingat bahwa Ahasyweros yang disebutkan di sini berbeda dengan raja Ahasyweros dalam kitab Ester (Est. 1:1) yang bernama lain Xerxes. Ahasyweros, ayah dari Darius, adalah nama lain untuk Astyages, raja terakhir kerajaan Media.
Dikisahkan bahwa Astyages suatu hari bermimpi bahwa anak perempuannya, Mandane, melahirkan seorang anak yang nantinya akan menghancurkan kerajaannya. Karena takut akan mimpi ini, Astyages menikahkan Mandane dengan raja Persia bernama Kambisus I (dalam bahasa Inggris “Cambyses I”) dari Anšan. Ingat bahwa pada masa itu, kerajaan Persia masih lebih lemah daripada Media. Dengan reputasinya sebagai “pangeran pendiam dan bijak”, Kambisus I dianggap sepele oleh Astyages. Dari pernikahan mereka, Kambisus I dan Mandane dikaruniai anak laki-laki. Anak ini adalah Koresh.
Astyages untuk kedua kalinya mendapatkan mimpi yang sama. Masih dalam paranoid, ia mengirimkan Harpagus, jendralnya, untuk membunuh Koresh, bayi yang baru lahir itu. Namun, Harpagus tidak mau menumpahkan darah keturunan raja. Jadi, ia memberikan bayi itu kepada seorang gembala bernama Mitridates, yang istrinya baru saja melahirkan anak yang mati dalam kandungan. Harpagus kemudian mengambil bayi itu dan memberikannya kepada Astyages sebagai bukti bahwa ia telah membunuh Koresh.
Koresh dibesarkan oleh Mitridates sebagai anaknya sendiri sampai ketika pada usia 10 tahun, ia ditemukan oleh Astyages, kakeknya. Astyages tidak membunuhnya melainkan mengembalikannya kepada ayahnya, Kambisus I. Namun, Astyages tidak melepaskan Harpagus, jendralnya, dari hukuman. Dalam sebuah pesta, Astyages menyuruh Harpagus memakan daging mayat anaknya sendiri.
Beberapa tahun berselang, Koresh kemudian mewarisi tahta ayahnya sebagai raja Persia pada tahun 559 SM. Pada tahun 553 SM, atas nasihat Harpagus yang ingin membalas dendam atas kematian anaknya, Koresh memberontak terhadap Astyages. Setelah 3 tahun bertempur, tentara Astyages membelot pada perang Pasargadae. Pada momen inilah, Koresh, raja Persia, menguasai kerajaan Media dan menundukkannya. Astyages tidak dibunuh oleh Koresh, melainkan diperlakukan dengan baik dan tetap tinggal di istana Koresh sampai matinya. Meski demikian, ia hidup di bawah penghinaan Harpagus dan dinasti serta kerajaannya tidak lagi berjaya seperti dahulu kala.
Sekarang, bayangkan Anda adalah Darius, anak dari Astyages sekaligus paman dari Koresh yang telah mengalahkan ayah Anda. Di satu sisi, Anda tentunya menyimpan dendam terhadap keponakan Anda. Namun di sisi lain, Anda setidaknya bersyukur karena, alih-alih dibunuh, Anda justru diberi kekuasaan oleh keponakan Anda itu! Ya, demikianlah perasaan Darius. Ia kehilangan tahta kerajaan Media dan hidup bahkan berkuasa oleh karena belas kasihan keponakannya, Koresh, semata. Bayangkan bisikan-bisikan pejabat-pejabatnya di balik punggungnya, “dia sebenarnya hanya orang nomor dua!” “dia pengecut dan lemah, kalah dari keponakannya sendiri!” “Kalau raja Koresh tidak berbaik hati, entah dimana dia sekarang!” Dalam keadaan seperti ini, tidak bisa tidak seseorang akan hidup dalam perasaan minder dan haus pengakuan.
Itulah sebabnya masuk akal Darius dengan mudah ditipu oleh pejabat-pejabatnya yang ingin menjatuhkan Daniel (Dan. 6:7-10). Sebuah hukum berakibat kematian yang tidak bisa diubah (ay. 9) berisi larangan berdoa kepada dewa-dewi dan hanya kepadanya merupakan sebuah hukum yang aneh, bukan? Sangking konyolnya usulan ini, banyak ahli biblika liberal menganggap kisah ini hanyalah sebuah dongeng karangan. Hanya orang minder yang haus pengakuan yang bisa menerima usulan konyol seperti ini. Tetapi itulah fakta sejarah: Darius yang minder dan akal bulus orang-orang yang iri. Akibatnya, Daniel dilemparkan ke gua singa.
Namun, kisah ini tidak berakhir di sini. Tuhan menyelamatkan Daniel dari gua singa. Pada akhirnya, Darius pun mengakui keperkasaan Allah Israel. Tak hanya itu, ia menyuruh seluruh wilayah yang dikuasainya, yakni bekas wilayah kerajaan Babel yang diberikan Koresh untuknya, untuk menyembah Allahnya Daniel.
Hanya Allah-lah yang telah merancang semua yang terjadi pada raja-raja ini, seperti yang dikatakan dalam Amsal 21:1, “Hati raja seperti batang air di dalam tangan TUHAN, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini.” Mulai dari rasa paranoid Astyages, pemberontakkan Koresh kepada kakeknya sendiri, sampai keminderan Darius, semua ada dalam scenario-Nya. Sementara Daniel? Meski kelihatannya ia adalah tokoh utama dalam kitab yang ditulisnya, Daniel sebenarnya hanyalah satu aktor kecil di tengah panggung drama sejarah. Namun apa yang dilakukannya adalah hal yang terpenting, yakni bahwa ia tetap setia dan taat kepada Tuhan. Itulah sebabnya mengapa meski bukan seorang raja yang menaklukkan kerajaan ini-itu, kita mengingat Daniel bahkan menceritakannya kepada anak-anak kita sejak sekolah minggu, jauh melebihi raja-raja ini. * DBO.