Diberkati Untuk Menjadi Berkat
Pengertian Umum tentang Berkat
Dalam pengalaman pelayanan saya, beberapa kali saya bertemu dengan jemaat yang sakit dan bertanya, “Dosa saya apa? Mengapa saya sakit begini?” Pertanyaan ini sebenarnya dilandasi asumsi bahwa sebagai orang Kristen, hidup saya sudah sewajarnya dipelihara dan diberkati Tuhan. Kalau Tuhan memberkati hidup saya, mestinya hidup saya lancar dan sejahtera. Karena itu, tak seharusnya saya tidak menderita sakit-penyakit yang parah, hidup berkecukupan bahkan berkelimpahan, anak-cucu juga diberkati. Dengan kata lain, berkat identik dengan hidup yang sukses dan sehat. Tak heran, teologi sukses banyak diminati orang Kristen.
Teologi semacam itu menimbulkan berbagai persoalan. Pertama, jika hidup selalu sukses dan sehat, maka lama-kelamaan seseorang akan percaya diri sendiri dan sombong. Sudah ternyata bahwa ada Allah atau tidak, mau dekat dengan Tuhan atau tidak, hidup saya baik-baik saja. Kedua, Allah hanya disembah untuk mendapat berkat. Tak ada relasi yang dalam dengan Allah. Tak ada pertumbuhan iman. Allah hanya dianggap sebagai pengadul doa keinginan. Ketiga, jika harta dan kesehatan itu lenyap, apakah ia akan tetap percaya kepada Tuhan? Apakah ia tidak akan menyalahkan Tuhan? Bagaimana mungkin Tuhan yang baik mengizinkan ketidakbaikan terjadi pada hidupnya?
Apa Kata Tuhan Yesus tentang Berkat
Dalam Khotbah di Bukit, Yesus memutarbalikkan pengertian berkat dari pengertian umum (Mat 5:1-12). Ia menyebut bahwa orang yang berbahagia (atau diberkati) akan menerima berkat dalam wujud: memiliki Kerajaan Surga, menerima penghiburan, memiliki bumi, merasa puas, memperoleh kemurahan, melihat Allah, disebut anak-anak Allah dan menerima upah yang besar di surga. Perspektif Yesus adalah eskatologis. Berkat yang dipahami orang Israel sebagai umat keturunan Abraham yang tinggal di tanah yang makmur ditransformasi Yesus sebagai umat yang ditebus Kristus (Gereja) dan mewarisi tanah surgawi dan berkat surgawi. Yesus Kristus menjadi kunci pemenuhan berkat Allah. Tentang hal ini Paulus menulis bahwa Allah “dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.” (Ef 1:3). Kehadiran Kristus telah mengubah perspektif berkat dari kekinian menjadi masa depan, kesementaraan menjadi kekekalan, keduniawian menjadi kesurgawian.
Dengan demikian, diberkati Tuhan tidak lagi ditentukan oleh faktor eksternal seperti kekayaan, kesehatan dan berkat jasmani lainnya tetapi kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Jika Allah hadir, maka umat-Nya akan merasa puas sepenuhnya. Berkat adalah apapun juga yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, apapun yang membuat kita memegang longgar hal-hal bernilai sementara dan memegang erat hal-hal bernilai kekal. Dengan kata lain, berkat tidak lagi ditentukan oleh apa yang kita terima, seolah kalau saya menerima hal ini dan itu, maka saya diberkati. Dalam perspektif Perjanjian Baru, kehendak dan tujuan Allah dibalik pemberian atau terjadinya sesuatu menjadi lebih penting daripada pemberian atau pengalaman itu sendiri. Tujuan utama hidup kita adalah penggenapan maksud dan kehendak Allah atas hidup kita dan bukan penggenapan keinginan kita.
Oleh karena itu, perspektif orang Kristen yang mempertentangkan berkat sebagai kaya-sehat dengan kutuk sebagai miskin-sakit tidak bisa dipertahankan. Dalam maksud Tuhan, penderitaan dapat menjadi saluran berkat Allah. Di dalam dan melalui pengalaman pahit itu, kita bisa mengalami berkat Allah berupa penghiburan, iman yang semakin kuat, kasih yang lebih dalam dan kebergantungan yang semakin kuat pada Allah.
Penerima Berkat Menjadi Penyalur Berkat
Berkat pertama-tama datang dari Allah kemudian melalui para penyalur berkat dan pada akhirnya melalui kita kepada yang lain. Allah pertama-tama menciptakan dan memberkati manusia dengan segala kelimpahan di taman Eden. Kemudian Ia memberkati Abraham dan berjanji menjadikannya bangsa yang besar, memasyurkan namanya dan menjadikannya saluran berkat bagi segala makhluk di bumi. Setelah Abraham, berkat disalurkan melalui para tetua Israel, imam, raja, nabi dan berpuncak pada Kristus. Di dalam Kristus, kita menerima berkat yang utama yaitu keselamatan. Berkat itu tidak boleh berhenti pada kita tetapi kita harus menjadi saluran berkat Allah. Berkat harus berkelanjutan. Agar hal itu dapat terjadi, maka orientasi hidup kita yang berpusat pada diri sendiri harus berubah. Sebagaimana Dia tidak menyayangkan milik-Nya yang paling berharga yaitu nyawa-Nya sendiri dengan memberikannya kepada kita, demikian pula kita harus meneladani-Nya.
Jadi, makna hidup yang diberkati tidaklah berhenti pada menerima dan menikmati berkat Allah tetapi menerima dan meneruskannya pada segala makhluk. Orang Kristen dipanggil menjadi seperti sungai yang terus mengalirkan air. Itulah tujuan Allah memberkati kita.
Menyikapi Berkat Kemakmuran
Dua bagian tulisan ini sudah menyinggung soal berkat kemakmuran. Kita sepakat bahwa berkat kemakmuran bukan satu-satunya berkat apalagi berkat terpenting. Alkitab tidak pernah menjanjikan berkat kemakmuran yang berlebihan tetapi berkat yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Oleh karena itu, kita perlu memahami secara benar posisi dan peran berkat kemakmuran dalam hidup orang percaya.
Pertama, kemakmuran harus dipahami dalam konteks misional. Allah memberkati Abraham dan keturunannya agar menjadi saksi bagi Allah sehingga bangsa-bangsa lain datang kepada-Nya (Ul 4:5-8).
Kedua, kemakmuran harus dipahami dalam konteks kepedulian pada mereka yang miskin. Allah memberkati umat-Nya dengan berkat kemakmuran agar mereka membagikannya pada mereka yang berkekurangan. Perintah semacam itu tersebar dalam Taurat, kitab para nabi, ajaran Kristus dan tulisan para rasul (1Tim 6:17-19).
Ketiga, kemakmuran bersifat sementara. Berkat kemakmuran memang mendapat perhatian penting dalam Perjanjian Lama tetapi hal itu harus dipahami sebagai bayangan dari berkat yang lebih agung dalam Perjanjian Baru yang tidak akan pudar, rusak dan lenyap. Harta-benda jasmani tidak ada yang kekal.
Keempat, kemakmuran harus dipegang dengan longgar. Oleh karena kesementaraan berkat ini, maka kita jangan memegangnya dengan erat. Rasul Paulus memberi peringatan tentang cinta uang sebagai akar segala kejahatan.Cinta atau obsesi berlebihan terhadap kemakmuran dapat menjadi jerat yang mematikan (1Tim 6:9-10). * (BSB)