Elevated by Grace (Diangkat oleh Anugrah)
Paolo Veronese adalah seorang pelukis terkenal Italia abad ke-16. Pada tahun 1573 ia diminta untuk melukis tentang perjamuan terakhir Yesus Kristus seperti yang terdapat di Lukas 5. Ia lalu melukis sebuah perjamuan dengan Kristus sebagai pusat dari acara tersebut. Tetapi selain para murid Kristus, Veronese juga menambahkan orang-orang yang ’tidak pantas’ untuk hadir bersama Kristus di perjamuan tersebut.
Ada beberapa tentara Romawi di pojok lukisan, seorang pria dengan hidung yang berdarah di pojok lainnya, beberapa orang yang mabuk, orang yang tubuhnya kerdil, orang-orang barbar, serta orang-orang yang dianggap tidak layak hadir bersama Kristus di mata orang-orang Kristen yang hidup dalam budaya masyarakat Italia abad ke-16.
Lukisan tersebut dianggap bidat sehingga Veronese dipanggil oleh pengadilan keagamaan pada masa itu. Veronese menjelaskan bahwa lukisannya itu menggambarkan orang-orang berdosa dengan siapa Yesus kerap bergaul, seperti yang dinyatakan dalam kitab-kitab Injil: pemungut cukai, orang-orang yang bukan Yahudi asli, serta para wanita yang bercitra buruk.
Bahkan dalam salah satu tindakan terakhir-Nya di kayu salib, Yesus mengampuni seorang penjahat yang disalib bersama-Nya (Lukas 23). Ia tahu bahwa penjahat itu bertobat hanya karena ia ketakutan. Penjahat itu juga mungkin tidak pernah mendalami kebenaran, menghadiri sinagoga, atau mengampuni orang-orang yang bersalah kepada-Nya. Ia hanya berkata ”Yesus, ingatlah akan aku”, dan Yesus berjanji kepadanya, ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”
Peristiwa ini adalah pengingat bahwa Anugrah tidak didasarkan pada pada apa yang kita lakukan bagi Allah, tetapi pada apa yang Allah lakukan bagi kita. Allah memberi Anugrah kepada orang-orang yang seringkali ’tidak layak’ untuk bisa hadir bersama-Nya, bahkan melayani-Nya.
Rasul Paulus pun merasa bahwa dirinya tidak layak. Ia adalah seorang pembunuh dan penyiksa orang-orang Kristen yang sangat jahat. Tetapi melalui Anugrah-Nya, Yesus Kristus mengangkat Paulus untuk bisa mengenal-Nya, melayakkannya, dan bahkan melayani-Nya.
Itulah sebabnya Paulus membagikan kepada jemaat di Efesus: ”Dari Injil itu aku telah menjadi pelayannya menurut pemberian kasih karunia Allah, yang diAnugrahkan kepadaku sesuai dengan pengerjaan kuasa-Nya. Kepadaku yang paling hina di antara segala orang kudus, telah diAnugrahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu.” (Efesus 3:7-8).
Masalahnya adalah banyak orang sulit untuk menerima konsep Anugrah yang semacam ini karena lebih suka mengendalikan (mengontrol) segala sesuatu dengan kekuatan sendiri dan menurut pandangannya sendiri. Di Imamat 18 terdapat larangan Tuhan untuk orang tua mempersembahkan anak sebagai korban bakaran pada Dewa Molokh, nama lain dari Dewa Baal.
Dewa orang Kanaan ini disembah oleh orang Israel sehingga membuat Tuhan marah. Orang Israel lebih suka percaya kepada dewa yang bisa dikendalikan untuk memberi mereka keuntungan. Caranya adalah mereka terlebih dulu mempersembahkan sesuatu kepada dewa tersebut, bahkan jika sesuatu itu adalah anak mereka sendiri.
Lalu di berbagai penjuru dunia sejak jaman dulu hingga sekarang, terdapat berbagai ritual penyiksaan diri, mulai dari mencambuki diri sampai sengaja mencungkil mata. Orang mau melakukannya karena menyiksa diri lebih masuk akal daripada menerima ’pembebasan utang’ dengan cuma-cuma.
Gereja pun pernah terjebak dalam hal ini ketika di abad ke-16 melakukan penyimpangan dengan menjual indulgensia atau surat penghapusan dosa. Iming-imingnya, jika umat membeli surat tersebut, mereka bisa selamat. Penyimpangan ini membuat mereka yang sungguh-sungguh mengenal kebenaran Firman seperti misalnya Martin Luther, menjadi marah sekali dan melakukan perlawanan. Luther menyatakan bahwa keselamatan hanya oleh iman kepada Kristus, bukan dengan membeli surat pengakuan dosa. Peristiwa tersebut menjadi salah satu pemicu dari lahirnya reformasi Protestan.
Anugrah berarti tidak ada sesuatu apa pun yang dapat membuat Tuhan lebih mengasihi kita – karena kasih-Nya sudah penuh dan berlimpah bagi kita. Tidak ada usaha atau pengakuan dosa atau pengetahuan yang didapatkan dari seminari terbaik di dunia yang membuat kita menjadi lebih berharga di mata-Nya – karena Dia bahkan memberi nyawa-Nya bagi kita karena kita sangat berharga bagi-Nya.
Sebaliknya, tidak ada sesuatu apa pun yang kita lakukan yang dapat membuat Allah kurang mengasihi kita: rasisme, kesombongan, pornografi, penyelewengan, bahkan pembunuhan. Penulis Philip Yancey mengatakan bahwa Tuhan sudah mengasihi kita sebanyak Allah yang tidak terbatas dapat mengasihi. Rasul Petrus mengistilahkannya sebagai ”Allah sumber segala kasih karunia.”
Ini berarti, saya dan Anda yang diberi Anugrah iman untuk percaya kepada-Nya, yang sebetulnya layak untuk dihukum, kini diundang untuk duduk bersama di perjamuan bersama-Nya sebagai keluarga Allah.**(GE)