Hasrat Misi
Bagi kebanyakan orang Kristen, kata “misi” merupakan kata yang penuh arti. Banyak orang yang bersentuhan dengan dunia misi hanya sejauh konteks menjawab panggilan untuk menjadi relawan misi atau memberikan bantuan dana, bahkan sekadar terpapar misi karena hadir dalam acara doa atau kebaktian yang bermuatan misi. Misi juga seringkali dipersempit menjadi sebatas pertanyaan apakah kita terpanggil menjadi utusan Injil atau tidak. Ketika diperhadapkan pertanyaan tentang misi itu apa, mereka tidak tahu apakah misi itu (tidak mengherankan mereka tidak tahu akan mengerjakan apa atau menjadi apa bila ingin menjadi utusan Injil). Penyempitan makna mewujudkan misi Tuhan terbatas hanya sebagai utusan Injil akhirnya membuat ketidakjelasan bagaimana murid Kristus hidup mewujudkan tujuan misi Tuhan jika mereka tidak menjadi seorang utusan Injil. Dalam suatu waktu Kekristenan pernah dihadapkan pada pemahaman bahwa Amanat Agung dipahami sebagai mandat Yesus hanya untuk 12 rasul, sehingga misi tidak bergerak (sebelum munculnya William Carey, tokoh misi modern). Kita perlu mengembalikan mandat misi Yesus yang Dia berikan tujuan misi yang diberikan Bapa kepada-Nya.
Misi Tuhan menurut John Stott dalam “Tuhan yang hidup adalah Tuhan yang Misioner”, dimulai bukan dalam bentuk perintah langsung tentang apa yang Dia kehendaki untuk dilakukan, namun Dia memilih dalam sebuah mandat. Mandat-Nya disampaikan bentuk janji. Janji ini memberi penekanan kepada apa yang dilakukan Tuhan yang bersifat pribadi sekaligus sangat global yaitu untuk memberkati semua kaum di bumi. Stott menjelaskan tentang tiga penggenapan janji Tuhan. Pertama, digenapi sebagian dalam masa Abraham dan sepanjang periode PL. Kedua, sepenuhnya digambarkan dalam kehidupan Yesus. Yang terakhir, akan digenapi dengan sempurna pada akhir zaman. Bahkan sekarang janji itu sedang digenapi sewaktu Kristus membangun gereja-Nya. Melalui janji-Nya dan penggenapan-Nya, kita dapat melihat Tuhan yang hidup sebagai Tuhan dari sejarah, Tuhan dari perjanjian dan Tuhan dari Misi.
Untuk memperjelas pandangan kita tentang mandat Tuhan agar semua suku bangsa mengakui Tuhan, kita melihat pandangan Walter C. Kaiser dalam “Panggilan Misi Israel”. Kaiser menunjukkan tentang misi Israel dalam kitab suci. Ia menjelaskan bahwa umat Tuhan dibentuk untuk ikut ambil bagian dalam tujuan-Nya. Israel dipanggil untuk aktif, bukan pasif sebagai komunikator berkat. Kejadian 12:2-3 menunjukkan pemilihan Tuhan atas Abraham agar ia dan keluarganya memainkan peran dalam tujuan global-Nya. Lebih jauh dikatakan makna sejati menikmati janji Tuhan adalah terletak bukan pada memperoleh keamanan dan prestise buatan sendiri, namun terletak pada menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Kita diberkati untuk menjadi berkat. Ini lebih dari sekedar sebuah tugas – inilah destiny kita.
Tulisan Kaiser menjelaskan pula bahwa apa tujuan Tuhan? Secara khusus Tuhan itu bermisi untuk dikasihi, dilayani, dan disembah oleh segala suku bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut Tuhan bertindak dengan tujuan yang ditetapkan yang tidak hanya akan mempengaruhi segala bangsa namun juga mengalahkan kuasa jahat. Tujuan Tuhan tersebut merupakan tujuan tunggal dengan tiga arah yang berbeda (dilukiskan dalam Mzm. 67), yaitu:
- Untuk Tuhan: segala bangsa menyembah dan datang kepada-Nya. (Pada akhirnya penginjilan dunia adalah bagi Tuhan)
- Untuk bangsa-bangsa: Dia akan menebus semua umat yang berasal dari segala suku bangsa
- Untuk melawan kejahatan: Tuhan akan menaklukan kuasa jahat sehingga suku-suku dimerdekakan dan akhirnya akan membawa segala sesuatu berada di bawah permerintahan-Nya yang kekal dan sempurna
Dengan demikian kita memahami mengapa tujuan hidup Yesus adalah untuk menghadirkan kemuliaan Allah di bumi. (Diringkaskan dalam satu doa terakhir-Nya kepada Bapa-Nya dalam Yohanes 17:4 “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya”). Yesus memberitakan Injil, namun disuatu saat Dia melakukan pelayanan sosial. Di waktu yang lain Yesus juga melakukan pelayanan sosial sambil memberitakan Injil keselamatan atau melakukan penginjilan disertai pelayanan sosial (Mrk 6:34-44). John Stott menekankan bahwa mandat agung tidak dapat dipisahkan dengan hukum kasih. Kita melakukan mandat-Nya karena mengasihi Tuhan dan sesama agar mereka mengalami kasih Tuhan diselamatkan. Kita melakukan misi sosial karena kita mengasihi mereka sebagai pribadi yang ciptaan Tuhan, bukan objek misi atau alat misi. John Piper dalam “Kiranya Suku-Suku Bangsa Bersukacita” mengatakan agar semua motivasi kita dalam menjalankan misi untuk kemuliaan Tuhan itu berfokus agar semua bangsa-bangsa beribadah pada Tuhan.
Kita sama seperti para murid yang secara istimewa diundang terlibat menjadi sahabat bagi Tuhan yang agung, menjadi rekan sekerja-Nya, bahkan hidup di dalam martabat dari sebuah tujuan yang lebih besar ketimbang diri kita. Kita sama ingin melayani Tuhan dengan cara terbesar yang kita tahu. Namun kita masih sama terpaku, terpesona pada Tuhan dan menatap ke langit, sehingga tidak sengaja pikiran kita masih berpikir hal besar yang kita tahu tentang Tuhan namun memperlakukan Tuhan sebagai jalan keluar bagi setiap masalah pribadi kita. Memposisikan Tuhan ada hanya untuk membantu kita kapan saja kita menghadapi situasi sulit. Inilah penghalang kita tidak bergerak melakukan mandat-Nya.
Kita sama seperti murid-murid yang terpaku, terpesona menatap langit setelah mendengar mandat menjadikan semua bangsa murid-Nya. Bedanya kebanyakan kita tidak segara bangun ke dunia realita seperti para rasul dan murid lainnya saat itu yang kemudian melakukan mandatnya (padahal kita tahu mandat ini disertai kuasa Tuhan dan penyertaan sampai akhir zaman). Visi kita juga bisa terbatas karena batas bentangan budaya dan hal-hal yang menjadi perhatian kita. Kita harus kembali ke ketetapan jalan hidup yang lebih baik – tujuan yang lebih besar. Kita dapat berpegang pada tujuan ini dengan mengenal dan mengikuti Tuhan, bergerak maju ke arah visi yang diperluas jauh melampaui diri kita sendiri. Menjadikan segala suku bangsa murid Kristus. (Mat. 28:18-20, Mrk.16:15-16, Luk. 24:46-49, Kis. 1:8, Yoh. 20-21-23).
Dearborn dalam “Lebih dari Sekedar Tugas”, mengingatkan bahwa motivasi misi tidak cukup hanya karena kita didorong oleh adanya kebutuhan-kebutuhan manusia. Jika hasrat utama kita diarahkan pada kegiatan-kegiatan misi maka tanpa bisa dihindari misi akan menjadi tugas yang melelahkan dan membuat kewalahan. Sebaiknya ada satu hasrat tunggal: “Saat Sang Raja dan Kerajaan-Nya menjadi sumber dan tujuan yang menyatukan dan mengendalikan semua yang kita lakukan”, maka misi menjadi petualangan yang penuh sukacita, hasrat dan pengharapan.
Saat Yesus menetapkan hidup-Nya kearah pengharapan untuk menyelesaikan pekerjaan Bapa, Yesus dapat menjalankan visi ini dengan penuh sukacita, pengharapan, dan hasrat hati serta tekad yang bulat walaupun berat jalannya. Dia berkata kepada murid-murid-Nya mula-mula bahwa, nilai dari hidup yang berbuah bagi kemuliaan Bapa-Nya adalah “sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (Yoh.15:11). * (DAU)