Hati-hati Menyebut Diri “Kristen”!
Apa yang membuat orang Kristen disebut Kristen? Ciri apakah yang menunjukkan seseorang adalah Kristen? Mengakui bahwa Anda beragama Kristen merupakan hal yang sangat lumrah di masa kini. Namun tahukah Anda bahwa di masa gereja mula-mula orang-orang Kristen tidak pernah menyebut diri mereka sendiri “Kristen”? Mereka sekadar menyebut diri mereka "murid" ("mathetai"), "saudara" ("adelphoi"), "orang-orang kudus" (hagioi), "orang-orang beriman" atau "orang-orang beriman" ("pistoi"), dsb., tetapi tidak pernah menyebut diri "Kristen". Satu-satunya kata "Kristen" yang dipakai oleh orang percaya adalah dalam 1 Pet. 4:16, dimana sebenarnya Petrus menantang orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus untuk siap menderita. Orang-orang Yahudi yang menolak klaim bahwa Tuhan Yesus adalah Mesias menyebut mereka "sekte orang Nasrani" ("Nazoraioi") atau sekedar "sekte" ("hairesis"). Terhadap orang-orang Yahudi ini, mereka menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut "Jalan" ("hodos").
Sebelum penganiayaan dan kematian Stefanus, orang-orang Kristen berkumpul di Yerusalem dan beribadah bersama-sama dengan orang-orang Yahudi, meski seringkali mereka diusir dan diekskomunikasi. Itulah sebabnya mereka disebut “sekte” dan tidak menerima penganiayaan dari Roma yang menganggap mereka sebagai salah satu sempalan agama Yahudi. Dengan kata lain, pada saat mereka masih mengumpul dan tidak keluar dari Yerusalem mereka belum disebut “Kristen.”
Jadi, darimana sebenarnya nama ini berasal? "Kristen" ("Christianos") yang berarti "pengikut Kristus" justru muncul manakala mereka keluar dari Yerusalem untuk menghindari penganiayaan dan berpencar ke berbagai tanah yang asing (Kis. 11:19). Di tanah yang asing ini, dengan budaya yang berbeda dan bahasa yang tidak mereka kuasai dengan fasih, mereka tidak menjadi takut dan bersembunyi. Sebaliknya, mereka tetap memberitakan Injil, meski kepada orang-orang Yahudi saja. Namun, rupanya ada orang-orang yang dapat berbahasa Yunani dan memberitkan Injil kepada orang-orang asing (Kis. 11:20). Pada akhirnya, banyak orang, baik Yahudi maupun non-Yahudi yang percaya.
Pada saat itu, ini adalah fenomena yang sangat mengherankan. Orang-orang Yahudi tidak mau berkumpul bersama-sama mereka yang non-Yahudi karena dianggap najis. Mereka yang berkebangsaan Yunani tidak mau berkumpul dengan non-Yunani karena menganggap mereka “barbar” (Kol. 3:11). Tak hanya itu, di dalam perkumpulan inilah laki-laki dan perempuan, budak dan tuan, anak-anak dan orang tua, berkumpul bersama.
Tak hanya itu, mereka melakukan hal mengejutkan yang tak mungkin akan dilakukan orang-orang zaman ini. Mereka menerima bahkan tinggal bersama mantan penganiaya mereka (Kis. 11:26)! Kalau di dalam budaya Yunani, Romawi, bahkan Yahudi sekalipun, orang-orang seperti Paulus tentu sudah akan dibunuhi karena dicurigai dan dianggap sebagai mata-mata, atau dibunuh karena balas dendam. Namun, bukan itu yang dilakukan orang-orang ini.
Mereka yang tinggal di Antiokhia menjadi bingung bagaimana cara menyebut mereka. Disebut orang Yahudi tidak bisa, disebut orang Yunani tidak bisa. Tidak ada kategori yang cocok untuk orang-orang ini. Jadi, sebagaimana mereka menamakan para pengikut Herodes “Herodian” dan pengikut Aristoteles “Aristotelian”, mereka menamakan para pengikut ini Kristus (Christ) ini “Kristen” (“Christian”).
Panggilan ini sebenarnya adalah sebuah sindiran. Kristus, atau dalam bahasa Ibrani “Mesias”, kadang kala disematkan kepada Kaisar Roma yang saat itu menguasai Eropa, Timur Tengah, bahkan beberapa wilayah di Afrika utara dengan pasukan yang kuat dan peperangan yang berdarah-darah. Namun, orang-orang Kristen justru menyematkan gelar ini kepada Orang yang dihukum mati oleh Roma sebagai pemberontak. “Hah? Kamu menyebut Orang yang digantung di salib sebagai Kristus? Yang benar saja!” Raja Agripa menggunakan kata-kata ini sebagai ejekan dalam Kis. 26:28, seolah-olah ia mengatakan, “Hampir saja kamu membuat aku menjadi salah satu orang rendahan yang dibenci itu!”
Di dalam sumber-sumber di luar Alkitab, seorang satiris Yunani abad kedua bernama Lucian dari Samosata yang menuliskan tentang orang-orang Kristen demikian, "orang-orang Kristen... menyembah seseorang sampai hari ini -- orang terkenal yang memperkenalkan ritual-ritual baru, dan yang akhirnya disalibkan karenanya... [hal tersebut] demikian dicekokkan kepada mereka oleh Pemberi Hukum tersebut, yang menjadikan mereka saudara-saudara dimomen mereka bertobat, dan menolak dewa-dewi Yunani, dan menyembah orang yang disalibkan ini serta hidup berdasarkan hukum-hukum-Nya." Jelas bahwa Lucian sedang mengejek orang-orang Kristen dan Pribadi yang mereka sembah sebagai Orang yang mati disalib. Bandingkan dengan dewa-dewi Yunani seperti Zeus sang dewa petir, Ares sang dewa , dan sebagainya. Lucian seolah mengatakan, "orang Kristen adalah orang-orang bodoh yang lebih memilih menyembah Orang yang disalib daripada dewa-dewi Yunani yang perkasa!"
Namun, panggilan yang sebenarnya adalah hinaan ini di sisi lain merupakan sebuah blunder dari musuh-musuh orang Kristen. Jika mereka menamakan kalangan ini "Yesuit" dari nama "Yesus," hal ini hanya berarti pengikut dari seorang manusia. Selain itu, nama "Yesus" adalah nama yang sangat umum pada zaman itu. “Yesus" seorang filsuf? "Yesus" seorang nabi? Tidak jelas siapa yang dimaksudkan. Namun, mereka disebut "Kristen" yang berarti pengikut Kristus, yang pengikut dari Sang Mesias yang diurapi dan yang kekuasaannya melebihi Kaisar Roma. Para musuh Kekristenan mengatakan sesuatu yang jauh melebihi yang mereka ketahui dan percayai.
Jadi, kembali ke pertanyaan awal, bagaimana orang-orang percaya disebut Kristen? Jawabannya bukanlah ketika mereka mengumpul satu sama lain dan diam-diam saja di sebuah gedung, bukan pula ketika mereka menunjukkan kartu identitas mereka dan dengan acuh tak acuh menyebut diri “Kristen.” Mereka disebut “Kristen” oleh orang-orang di luar sana ketika mereka keluar dari tempat mereka, mengabarkan Injil, dan memancarkan Kristus yang mengampuni musuh-musuh-Nya dalam diri mereka. Itulah yang membuat mereka disebut “Kristen”
Diawali di Antiokhia—tempat asal-usul dari Lukas si penulis Kisah Para Rasul—sebagai sebuah hinaan, sebutan “Kristen” pada akhirnya menjadi sebuah lencana kehormatan di zaman bapa-bapa gereja seperti Justin Martyr di abad kedua. Bagaimana bisa? Karena sejatinya disebut “Kristen” adalah kehormatan tertinggi! Pengikut dari Sang Kristus, Mesias yang diurapi, Anak Allah yang menjadi manusia dan mati untuk menebus manusia dan seluruh ciptaan.
Namun, di sisi lain, sebutan “Kristen” juga adalah sesuatu yang sangat ambigu dan dapat memberikan rasa aman yang palsu. Entah berapa banyaknya orang yang menyebut dirinya “Kristen”, tetapi tidak meneladani Kristus dan melakukan apa yang dilakukan oleh murid-murid-Nya. Dengan tenang seseorang dapat menyebut dirinya “Kristen”, seolah dirinya memiliki hubungan dengan Kristus. Kekristenan adalah bukan agama, tetapi hubungan (“Christianity is a relation, not religion”), katanya. Tapi, apakah hubungannya? Apakah sebagai murid dan Guru? Sebagai pengikut dan Pemimpin? Sebagai teman? Atau jangan-jangan… sebagai musuh?
Kenyataannya, demikianlah banyak orang yang menyebut dirinya Kristen, padahal tidak memiliki hubungan yang sejati dengan Tuhan Yesus. Entahkah hubungan itu sebenarnya justru hubungan permusuhan, dimana seseorang mengaku dirinya “Kristen” tetapi malah menajiskan nama-Nya dengan memusuhi orang-orang Kristen yang lain. Entahkah hubungan itu adalah hubungan tuan dan jinnya, dimana justru seseorang justru memperlakukan Tuhan sebagai jin yang disuruh ini-itu untuk memenuhi keinginannya. Entahkan hubungan itu adalah hubungan pengkhianatan, dimana seseorang mengatakan Tuhan Yesus adalah Tuhan dan Rajanya, tetapi dalam kehidupan sehari-harinya tetap hidup dalam dosa dan pemberontakan.
Jika Anda salah satu yang menyebut diri Anda “Kristen,” berhati-hatilah! Hubungan seperti apa yang sebenarnya Anda miliki dengan Sang Kristus? * (DBO).