Injil Kasih Karunia: Solusi Untuk Legalisme Dan Antinomianisme
Selat Messina, selat sempit selebar 32 km yang memisahkan Pulau Sicilia dan Italia, adalah momok bagi para pelaut kuno karena jalur pelayaran terletak di antara batu karang dan pusaran air yang dinamai Scylla dan Charybdis. Terlalu ke kiri kapal akan menghantam batu karang; terlalu ke kanan akan terhisap pusaran air. Agar selamat melalui selat ini, mereka harus berlayar lurus di antara Syclla dan Charybdis. Demikian juga, ada dua bahaya mengancam Injil yang sejati. Di sebelah kiri adalah legalisme; dan di sebelah kanan antinomianisme.
Apakah legalisme? Apakah antinomianisme? Bagaimana menghindari keduanya? Tulisan ini akan mengupas kedua bahaya ini. Juga akan ditunjukkan bahwa agar kapal keselamatan kita tidak terhempas ke Syclla legalisme atau sebaliknya terseret ke dalam Charybdis antinomianisme, maka orang percaya harus menavigasi kapal keselamatan mereka lurus mengikuti Injil Kasih Karunia.
Esensi Injil adalah kasih karunia atau anugerah. Manusia berdosa dibenarkan bukan karena usaha manusia tetapi semata-mata karena kasih karunia Allah di dalam Yesus Kristus (Roma 3:24). Pertanyaan selanjutnya adalah lalu bagaimana dengan Hukum Taurat? Apakah peranan Taurat dalam hidup orang-orang yang telah diselamatkan? Pertanyaan ini patut untuk dipertimbangkan, karena baik Injil maupun Taurat dua-duanya dari Allah sendiri. Ia yang memproklamasikan Injil bagi orang-orang berdosa, juga menurunkan Taurat bagi mereka. Dengan demikian relasi antara Taurat dan Injil (Law and Gospel), antara hukum dan anugerah, penting dicermati dengan benar dan tepat. Baik legalisme maupun antinoniamisme, keduanya salah memperlakukan baik anugerah maupun hukum Allah.
Legalisme = anugerah + Taurat
Menurut Injil yang sejati keselamatan adalah semata-mata berdasarkan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus. Penekanan di sini adalah semata-mata. Masalah utama bukan apakah ada anugerah atau tidak, tetapi apakah hanya berdasarkan anugerah atau tidak. Dalam Injil yang sejati, anugerah Allah adalah satu-satunya dasar pembenaran (justification) dari Allah. Sebaliknya, pada legalisme keunikan anugerah Allah tercemari, entah dengan menggantikan anugerah dengan usaha manusia, ataupun dengan menambahkan usaha manusia pada anugerah tersebut.
Legalisme hadir dalam dua bentuk: kasar dan halus. Legalisme dalam bentuk kasarnya adalah Pelagianisme, i.e., keselamatan berdasarkan usaha manusia untuk menaati hukum Allah. Anugerah Allah tidaklah esential dalam keselamatan. Sangatlah jarang orang berpegang pada ajaran sesat ini. Pelagius sendiri pun kadang berbicara perlunya anugerah untuk keselamatan. Atau boleh dikatakan Pelagius sendiri pun sebenarnya menolak legalisme bentuk kasar, dan berpegang pada legalisme dalam bentuk halus. Legalisme bentuk halus pada dasarnya adalah semi-Pelagianisme, i.e., menambahkan usaha manusia ke dalam karya Kristus untuk mendapatkan, memastikan, ataupun mengamankan keselamatan kita. Dengan kata lain anugerah Allah dapat diperoleh dengan menaati hukum Allah.
Pengajaran Gereja Katolik menurut Konsili Trento (Council of Trent), misalnya, mengajarkan bahwa manusia berdosa dibenarkan berdasarkan anugerah, tetapi kehendak bebas manusia harus bekerja sama dengan anugerah Allah tersebut (lihat sesi 6, bab 5). Dengan demikian untuk dibenarkan, manusia berdosa memerlukan anugerah Allah yang bekerja sama dengan usaha manusia. Ini, menurut Calvin, adalah kesalahan utama doktrin pembenaran Konsili Trento. Manusia mengambil bagian dalam pembenaran yang seharusnya semata-mata milik Allah.
Tentu saja Konsili Trento tidak unik. Ia bukan satu-satunya dan juga bukan yang pertama, yang menggabungkan anugerah Allah dengan usaha manusia. Agama-agama di dunia ini juga mempraktikkan legalisme halus. Kekristenan disebut agama anugerah, bukan karena agama-agama lain tidak mengajarkan anugerah. Jelas ada pengajaran anugerah dalam agama-agama lain. Namun adanya pengajaran anugerah tidak dengan sendirinya membuat satu agama menjadi agama anugerah. Pertanyaan adalah: Apakah anugerah didapatkan semata-mata karena anugerah? Ataukah anugerah didapatkan dengan usaha manusia menaati hukum Allah? Jika anugerah Allah dapat diperoleh dengan menaati hukum Allah, maka itu adalah legalisme. Sebaliknya Injil sejati mengajarkan anugerah Allah melalui iman saja, dan iman itu pun anugerah Allah sendiri. Dengan demikian anugerah semata-mata berdasarkan anugerah.
Legalisme bentuk halus sangat berbahaya karena tersembunyi dalam bungkus anugerah itu sendiri. Seperti racun dalam kapsul yang manis. Usaha manusia untuk membenarkan diri sendiri, tersembunyi rapi dalam ajaran-ajaran yang mengedepankan anugerah. Ini adalah senjata si Setan untuk menjauhkan kita dari Injil sejati. Orang-orang Kristen Injili tidaklah kebal terhadap pencobaan ini. Ketaatan menuruti Firman Allah, kesetiaan melayani Tuhan, dan kesungguhan mengabarkan Injil – ciri khas orang-orang Injili – jika tidak dicermati dengan benar, dapat menjadi hukum Taurat yang ditambahkan ke dalam anugerah, sehingga kapal keselamatan kita menghantam batu karang legalisme.
Antinomianisme = anugerah – Taurat
Legalisme adalah anugerah plus Taurat. Anugerah minus Taurat bukan Injil, melainkan antinomianisme. Anugerah tidak boleh ditambahkan dengan hukum Taurat; tetapi anugerah juga tidak boleh tanpa hukum Taurat. Anugerah tidak anti Taurat, karena baik anugerah maupun Taurat dua-duanya datang dari Allah sendiri.
Dalam surat Galatia, Paulus melawan legalisme. Ia melawan mereka yang menambahkan Taurat dalam anugerah Allah. Mereka yang mengajarkan bahwa untuk dibenarkan iman saja tidak cukup, harus ditambahkan dengan perbuatan. Sedangkan dalam surat Yakobus, Yakobus melawan kalangan antinomian. Ia melawan mereka yang berkata bahwa hidup orang percaya iman saja cukup, tidak perlu perbuatan. Yakobus berkata tanpa perbuatan iman adalah mati. Dengan jelas bahwa Firman Allah melawan baik legalisme maupun antinomianisme.
Alasannya karena baik legalisme maupun antinomianisme menyalahgunakan anugerah Allah. Legalisme menyingkirkan anugerah dengan menambahkan hukum Taurat; sebaliknya antinomianisme membuat anugerah menolak hukum Taurat. Legalisme dan antinomianisme juga salah dalam memandang peranan hukum Allah dalam hidup orang percaya. Legalisme salah, karena menambahkan hukum Taurat untuk pembenaran. Yang benar adalah pembenaran hanya melalui iman dan berdasarkan anugeah. Tidak boleh ada usaha manusia dalam pembenaran di hadapan Allah. Antinomianisme salah, karena menghilangkan Taurat dalam hidup orang percaya. Yang benar adalah setelah dibenarkan, orang percaya harus hidup seturut Taurat.
Injil = anugerah -> Taurat
Agar tidak menghantam legalisme atau sebaliknya terseret ke dalam antinomianisme, kapal keselamatan kita harus mengikuti jalur Injil sejati yang semata-mata berdasarkan kasih karunia (anugerah). Menurut Injil, dalam pembenaran (justification), hukum Taurat tidak memiliki tempat. Manusia dibenarkan hanya berdasarkan anugerah dan melalui iman. Bahkan iman itu pun bukan usaha manusia, tetapi pemberian Allah (lihat Pengakuan Iman Westminster, pasal 14). Akan tetapi setelah dibenarkan, orang-orang percaya harus hidup kudus dengan hukum Taurat sebagai pedomannya. Dengan kata lain, hukum Taurat bukan untuk pembenaran (justification), tetapi untuk pengudusan (sanctification). Injil sejati tidak menambahkan Taurat untuk dibenarkan di hadapan Allah, tetapi semata-mata berdasarkan anugerah melalui iman. Orang yang dibenarkan tidak membuang Taurat, tetapi menjadikan Taurat sebagai pedoman untuk kehidupan kudus. Dengan demikian dalam Injil, anugerah harus diikuti dengan kerja keras menuruti Firman Allah (1Kor.15:10).
Agar kapal keselamatan tidak terhempas ke batu karang legalisme atau terseret ke dalam pusaran air antinomianisme, maka ia harus berjalan lurus menuruti Injil yang sejati. Injil sejati menempatkan anugerah dan hukum Taurat pada tempatnya yang seharusnya. Anugerah untuk pembenaran; dan hukum Taurat untuk pengudusan.(PD)