Kemahakuasaan Yesus
Di dalam Alkitab, kita melihat bahwa Allah memiliki berbagai atribut atau sifat, salah satunya adalah omnipotenceatau mahakuasa. Ini tidak berarti bahwa Allah mampu melakukan segala sesuatu yang berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri atau dengan karakter-Nya yang sempurna. Sebagai contoh, ketika Alkitab mengatakan bahwa Allah tidak dapat berdusta (Tit. 1:2, Ibr. 6:18), pernyataan tersebut tidak menyangkali kemahakuasaan-Nya. Kemahakuasaan juga tidak berarti bahwa Allah harus mencegah peristiwa-peristiwa jahat tertentu terjadi di bumi. Untuk menjalankan tujuan penciptaan-Nya, Ia memilih mengizinkan hal-hal buruk terjadi dan mengizinkan konsekuensi-konsekuensi dari semua tindakan kejahatan tersebut terjadi. Namun demikian, Ia dapat mengintervensi situasi-situasi tertentu demi menyatakan siapa diri-Nya dan menghadirkan penebusan bagi dunia. Ketika Ayub mengaku, "Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal" (Ayb. 42:2), ia sedang mengakui bahwa penderitaannya bukan terjadi karena Allah kurang berkuasa. Allah dapat saja mencegah penderitaan Ayub atau lebih cepat melakukan intervensi, tetapi memilih tidak melakukannya berdasarkan tujuan baik-Nya sendiri.
Perjanjian Baru memperlihatkan Yesus sebagai pernyataan yang jelas akan kemahakuasaan Allah. Hal ini bahkan sudah dimulai sebelum Yesus dilahirkan. Zakharia dan Elisabetmengandung anak pertama di masa tua mereka. Malaikat Gabriel kemudian memberitahu Maria, seorang perempuan muda yang sudah bertunangan dan baru saja mencapai usia yang cukup untuk mengandung, bahwa sesuatu yang lebih ajaib akan terjadi. Maria akan melahirkan seorang anak yang tidak memiliki ayah manusia, dan anak tersebut akan disebut Anak Allah. "Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil" (Luk. 1:37), demikian kata malaikat tersebut. Jadi, inkarnasi adalah sebuah demonstrasi kemahakuasaan Allah.
Kehidupan yang dijalani Yesus di bumi juga merupakan suatu demonstrasi kemahakuasaan yang penuh kerendahan hati. Meskipun memiliki rupa Ilahi yang mulia, Kristus "mengosongkan diri-Nya" dan "merendahkan diri-Nya" untuk menjalani kehidupan sebagai hamba (Flp. 2:6-8). la menggunakan kuasa-Nya untuk melayani orang lain dan mengungkapkan maksud Allah untuk menyelamatkan umat manusia dari kematian rohani mereka. Ia menolak untuk mengubah batu menjadi roti demi memuaskan kelaparan-Nya sendiri (Mat. 4:3-4), tetapi mengubah lima roti untuk mengenyangkan lima ribu orang laki-laki dewasa bersama keluarga mereka dengan sisa yang banyak (Mat. 14:15-21; Yoh. 6:l-14). Ia melakukan mukjizat tersebut bukan untuk pertunjukan, melainkan untuk memperkenalkan diri-Nya sebagai "roti hidup," sumber hidup yang kekal bagi mereka yang datang kepada-Nya (Yoh. 6:26-58).
Yesus menawarkan Diri-Nya sendiri sebagai Roti Hidup bagi dunia dengan cara mati di kayu salib (bdk. Yoh. 6:51). Jika nyawa-Nya direbut dari-Nya secara paksa dengan melawan kehendak-Nya, maka itu akan melawan kemahakuasaan-Nya; namun kejadian yang sebenarnya tidaklah demikian. Sebaliknya, Yesus secara sukarela menyerahkan nyawa-Nya, membiarkan penguasa menangkap dan menyalibkan-Nya. "Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri" (Yoh. 10:18a), demikian kata Yesus. Kematian-Nya bukan tanda kekalahan atau ketidakmampuan sebab Yesus juga mengambil kembali nyawa yang sudah la serahkan: "Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali ... Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku" (ay. 17-18b). Yesus juga mengklaim bahwa Ia sendiri akan bangkit dari kematian: "Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali" (Yoh. 2:19). Yohanes menjelaskan bahwa "yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah Tubuh-Nya sendiri" (ay 21) dan bahwa prediksi-Nya digenapi ketika Ia bangkit dari kematian (ay. 22).
Rasul Paulus memandang kematian Kristus di kayu salib dan kebangkitan-Nya sebagai pengungkapan utama dari kuasa Allah yang bekerja bagi kebaikan kita: "Kami memberitakan Kristus yang disalibkan ... Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah" (1Kor. 1:23-24). Paulus berdoa agar umat Kristen mengenal "betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, ... yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga" (Ef. 1:19-20). Ini adalah berita yang kontra-budaya dan bersifat revolusioner bagi segala zaman bahwa kuasa yang sesungguhnya tidak ditemukan pada pasukan tentara atau pengadilan, melainkan dalam kebangkitan Yesus yang disalibkan.
Anak Allah yang dibangkitkan dan ditinggikan tersebut kini bertakhta dengan penuh kuasa di atas segala kekuasaan dan pemerintah dalam ciptaan (Ef. 1:21; Kol. 2:10; 1Ptr. 3:22). Setelah bangkit dari kematian, Yesus memberitahu murid-murid-Nya, "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi" (Mat. 28: 18). Bagaimana Yesus menjalankan kekuasaan universal ini? Dengan mengirimkan para misionaris! "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu" (Mat. 28:19-20). Dia menjalankan kuasa-Nya dengan cara yang berlawanan dengan apa yang dibayangkan manusia.
Sebagai rangkuman, Perjanjian Baru menegaskan bahwa kuasa yang digunakan oleh Yesus untuk menaklukkan segala ciptaan (1Kor. 15:24; Flp. 2:9-11) adalah kuasa yang sama yang digunakan-Nya untuk menciptakan dan memelihara alam semesta ini (Kol. 1:16-17; Ibr. 1:2-3). Oleh sebab itu, kita dapat yakin bahwa Yesus Kristus tidak akan mengecewakan kita dan Ia akan memberi kita kemampuan untuk menggenapi panggilan-Nya bagi kita. "Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku" (2Kor. 12:9).Amin.
Catatan: didasarkan atas buku Menempatkan Yesus di Takhta-Nyaoleh Robert M. Bowman dan J. Ed Komoszewski