Menembus Batas
Penjara adalah tempat orang-orang yang dibatasi sebagian hak asasinya. Secara fisik mereka berada di balik teralis besi. Tidak hanya dibatasi gerak dan aktivitasnya tetapi juga dibatasi komunikasi dengan orang lain atau dunia luar. Kasihan kan.
Bagaimana dengan kita, apa benar bebas tidak terpenjara? Mengapa pertanyaan itu penting, karena seringkali ada orang-orang yang justru tanpa mereka sadari sebenarnya telah memenjarakan dirinya sendiri dengan pikiran dan persepsi atau praduga mereka sendiri. Memang, mereka tidak sedang dimasukkan dalam penjara yang ada besi teralisnya, tetapi mereka sedang terpenjara di dalam diri sendiri.
Penjara biasa hanya membatasi kebebasan secara jasmani, tetapi memenjarakan diri membatasi lebih daripada sekadar jasmani, membuat “kelumpuhan” di dalam banyak area hidup, membuat kita tidak bisa menghidupi hidup sesuai dengan potensi diri kita yang terbaik. Kita tersekap di dalam diri sendiri. Situasi ini jauh lebih mengerikan dibandingkan penjara jasmani.
Banyak orang menggambarkan orang yang pikirannya memenjarakan dirinya seperti berikut. Kita mengira bahwa gajah hanya bisa jalan perlahan. Tidak selalu demikian. Gajah liar kalau sedang ngamuk sangat dahsyat. Mampu merobohkan pohon besar, mampu merusak kampung, mampu berjalan lebih dari 40 kilo meter per hari. Tetapi gajah liar sekalipun tidak akan bisa apa-apa bila kakinya sudah diikat. Gajah tidak bisa bebas jika ada sesuatu yang mengikat kakinya, sekalipun hanya diikat seutas tali kecil. Menghancurkan kampung bisa, tetapi diikat dengan seutas tali kecil di tiang kecil, membuatnya tidak mampu berbuat apa-apa.
Ciri orang yang terpenjara oleh pikiran sendiri akan sering bilang, “tidak mungkin, tidak bisa, tidak mau, tidak berani.” Apa-apa bilang tidak mungkin. Apa-apa bilang tidak bisa. Apa-apa bilang tidak mau. Apa-apa bilang tidak berani. Pesimis, negatif. Akhirnya ya begitu-begitu saja.
Suatu kali Tuhan Yesus menceritakan suatu perumpamaan yang dikenal sebagai Perumpamaan tentang Talenta [Mat. 25:14-30]. Perumpamaan ini mengajarkan beberapa hal. Pertama, Tuhan menciptakan manusia dan memberikan potensi. Potensi yang sangat besar. Diumpamakan seperti talenta. Kamus Alkitab mendefiniskan beberapa istilah, “talenta” adalah jumlah uang yang sangat besar nilainya, yaitu 6.000 dinar; “dinar” adalah mata uang Romawi, satu dinar ialah upah pekerja harian dalam satu hari. Berarti, 1 talenta sama dengan upah 6.000 hari kerja atau 16.44 tahun. Potensi yang sangat besar Tuhan percayakan.
Kedua, Tuhan memberi sesuai dengan kesanggupan masing-masing orang. Kesanggupan atau potensi ini harus dikembangkan secara maksimal. Bagaimana kita mengetahui bahwa kita sudah maksimal? Pertama, kita harus bertanya berapa besar potensi yang dipercayakan kepada kita. Bertanya kepada Sang Pemberi, karena Dialah yang menganugerahkannya. Dia mengenal masing-masing kesanggupan orang. Kedua, kita harus mengusahakan untuk mengembangkannya. Karena melalui perumpamaan itu kita diberitahu bahwa “Sang Tuan” itu akan kembali dan akan mengadakan perhitungan. Sesuatu yang kita anggap sebagai batasan kita, mungkin saja benar tetapi juga mungkin tidak. Dari mana kita tahu bahwa itu adalah batasan kita kalau kita tidak pernah coba untuk menembusnya? Kita harus berusaha secara maksimal untuk menembus hal-hal yang kita anggap sebagai batasan kita.
Sekitar tahun 1780, sikat gigi modern pertama kali dibuat oleh William Addis dari Inggris. Dia membuat sikat gigi untuk membersihkan giginya dengan menggunakan tulang yang berasal dari makan malamnya, lalu mengkombinasikannya dengan bulu sikat yang dia pinjam dari penjaga tahanan. Ide pembuatan sikat gigi diperoleh William Addis ketika dia berada di dalam penjara. Setelah ia dibebaskan, dia menjadi orang pertama yang memproduksi sikat gigi secara massal. Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini? Tubuh William Addis berada di balik teralis besi, di penjara, namun pikirannya tidak. Ia tetap membiarkan pikirannya bekerja bebas. Sementara itu banyak orang yang tubuhnya bebas tidak terpenjara namun pikirannya terpenjara, yang membuatnya tidak bisa berkembang.
Hari ini, kita tidak boleh lagi terus mencari alasan untuk bilang tidak mungkin, tidak bisa, tidak mau, tidak berani. Apalagi menyalahkan keadaan, menyalahkan orang lain, pesimis, pasrah dan mengharapkan keajaiban datang. Jadikan setiap kesempatan sebagai sesuatu yang penuh makna. Mungkin saja akan melelahkan, menyakitkan, tetapi akan lebih melelahkan dan menyakitkan saat kita terpenjara pikiran sendiri karena kita tidak akan pernah sampai pada potensi terbaik kita. Soli Deo Gloria. * [Ar2]
(Sumber: Wikipedia dan artikel dari internet “Terpenjara Pikiran Sendiri”