Perayaan Sebagai Disiplin Rohani
Apa yang ada di benak kita ketika mendengar kata ‘Celebration’ atau Perayaan/Selebrasi. Bisa jadi dalam imajinasi kita muncul sebuah peristiwa yang penuh kemeriahan, dengan tawa, makan minum, tepuk tangan, dan sebagainya, misal peristiwa ulang tahun, pesta pernikahan, pembukaan toko baru, dan sebagainya. Itulah nuansa yang ada dalam bayangan kita tentang Perayaan, ada kesenangan, kepuasan, rasa syukur yang dinikmati bersama setelah sebuah perjuangan, dan harapan dalam meniti masa selanjutnya.
Tentu saja Perayaan tidak hanya ada dalam konteks di luar sana. Bayangan kita tentang Perayaan sebagaimana di atas juga ada ketika membayangkan Perayaan yang terjadi dalam lingkungan hidup orang percaya. Hanya kita tentu perlu membuatnya sebagai sebuah respons atas tindakan Allah di masa lalu yang berdampak pada masa kini dan menjadi dasar pengharapan bagi masa depan. Di dalam kehidupan umat Tuhan, Perayaan secara korporat menjadi bagian integral dari kehidupan umat-Nya sejak zaman dahulu kala. Perayaan dilakukan melalui pujian kepada Tuhan dan sorak-sorai dan umumnya disertai pula oleh makan minum bersama.
Orang Israel merayakan penyelamatan, perlindungan, dan kasih setia Tuhan kepada umat-Nya. Ketika orang Israel dilepaskan dari Mesir dan berhasil menyeberangi Laut Merah, umat Tuhan bersorak-sorai dan bernyanyi memuji Tuhan (Kel. 15). Sekalipun tidak ditulis dengan jelas, pastilah ada perayaan besar karena mukjizat yang dilakukan oleh Tuhan, yang menunjukkan kuasa, kebaikan, dan penyertaan Tuhan bagi umat Israel. Di kemudian hari, ada berbagai Perayaan yang dilakukan oleh orang Israel. Pesakh (diterjemahkan Paskah di Perjanjian Lama) menjadi sebuah Perayaan terpenting. Perayaan Pesakh secara besar-besaran dilakukan pada zaman Raja Yosia (2 Taw. 35). Selain itu ada beragam perayaan lain, Hari Raya Pendamaian, Hari Raya Pondok Daun, Purim, Sabat dan lainnya yang ditetapkan untuk memperingati kebaikan Tuhan yang dinyatakan melalui berbagai peristiwa penting di masa lalu dan setelahnya serta untuk menaruh pengharapan akan penyertaan Tuhan di masa depan (bdk. Kel. 12). Melalui berbagai peristiwa tersebut, umat Israel diajak untuk tidak memusatkan perhatian kepada diri mereka sendiri, tetapi kepada Allah. Mereka diingatkan untuk selalu memercayai Tuhan dan bukan kekuatan mereka sendiri. Mereka juga diingatkan untuk mengajarkan generasi selanjutnya tentang Allah dan perbuatan tangan-Nya melalui berbagai perayaan tersebut. Sebagian perayaan yang ada di Perjanjian Lama juga dirayakan oleh Yesus dan murid-murid-Nya sebagaimana kita baca di dalam Perjanjian Baru, sekaligus digenapkan oleh karya kehidupan dan kematian Kristus.
Di dalam lingkup gereja, kita juga terbiasa melakukan sejumlah perayaan seperti Natal, Paskah, Pentakosta, Imlek, atau HUT 100 tahun GII. Perayaan-perayaan itu bukan diadakan hanya karena kebiasaan dan tradisi gereja, tetapi menjadi sebuah kesempatan khusus untuk mengingat kebaikan, kasih karunia, dan penyertaan Tuhan yang luar biasa kepada gereja-Nya. Di dalam berbagai Perayaan itu, tentu ada sukacita bersama, tepuk tangan, pembicaraan tentang hal-hal yang baik, dan kepuasan, bukan hanya karena acaranya tetapi karena Allah yang telah menyatakan kasih setia-Nya. Dalam lingkup yang lebih rutin, ibadah mingguan sesungguhnya adalah juga sebuah Perayaan untuk mengingat betapa baik dan setianya Tuhan di dalam kehidupan umat Tuhan setiap hari. Itulah sebabnya orang percaya perlu datang ke dalam ibadah hari Minggu dengan rasa sukacita oleh karena penyertaan Tuhan, bahkan ketika sedang mengalami berbagai kesusahan hidup. Keyakinan akan kebaikan dan anugerah yang sedang Tuhan kerjakan di dalam dan melalui berbagai kesulitan hidup akan membawa kita tetap memuji Tuhan dan merayakan kebaikan-Nya bersama-sama.
Di dalam berbagai perayaan gerejawi tersebut, Sakramen menjadi suatu bentuk Perayaan yang sangat khusus, sebab selain diperintahkan oleh Tuhan Yesus sendiri, Sakramen menjadi suatu peristiwa yang menandai anugerah sangat luar biasa dari Tuhan dan perlu dirayakan dengan penuh sukacita. Sakramen Baptisan yang hanya dilakukan sekali seumur hidup adalah sebuah tanda dan meterai luar biasa akan perjanjian kasih karunia Tuhan kepada kita, menjadi penanda seseorang beralih dari kehidupan lama yang tanpa Kristus menjadi sebuah kehidupan yang penuh anugerah karena karya keselamatan Kristus diberikan kepadanya. Baptisan menjadi pemisah dua kehidupan yang bertolak belakang. Karena itu, tidak heran jika di sebagian budaya tertentu, setelah pembaptisan, diadakan pesta khusus yang dihadiri oleh penerima baptisan bersama keluarga dan sahabat dekat.
Berbeda dengan Sakramen Baptisan yang diadakan hanya sekali seumur hidup, Sakramen Perjamuan Kudus dilakukan secara rutin dan berkala seumur hidup orang percaya. Di dalam dan melalui Perjamuan Kudus, orang percaya terus-menerus diingatkan akan kasih Tuhan yang luar biasa yang telah memberinya hidup kekal di suatu titik di masa lalu, dan terus menyertainya sejak saat itu. Dia juga diingatkan akan pemeliharaan Tuhan yang dinyatakan melalui orang-orang percaya lainnya dan mendapat penguatan iman akan kemenangan pasti di kemudian hari melalui pesta perjamuan kawin Anak Domba (Wah. 19). Itulah sebabnya orang percaya harus datang dan pulang dengan penuh sukacita ketika mengikuti Perjamuan Kudus. Di masa kini, aspek sukacita perlu lebih ditekankan selain aspek kekhidmatan dalam mengikuti Perjamuan Kudus. Memang betul kita datang diundang oleh Tuhan untuk makan dan minum semeja dengan Dia, dan kita tidak boleh sembarangan serta perlu datang dengan kesadaran akan banyaknya dosa yang kita perbuat. Namun datang ke meja perjamuan dengan tidak sembarangan tentunya tidak bertentangan dengan perasaan sukacita karena hati yang mensyukuri kebaikan Tuhan, pengampunan dosa dari Tuhan, dan keyakinan akan penyertaan Tuhan yang terus menerus. Sukacita karena hal-hal ini wajar jika tersirat melalui senyuman dan wajah berseri-seri ketika mengikuti Perjamuan Kudus. Intinya, perlu ada kekhidmatan namun juga sukacita dalam mengikuti Perjamuan Kudus.
Perayaan akan kebaikan Tuhan tentu tidak terbatas dilakukan hanya dalam konteks komunitas orang percaya secara keseluruhan, tetapi juga bisa pada level pribadi atau keluarga atau dengan sahabat. Tertawa, bersukacita, saling menceritakan kebaikan Tuhan, dan menikmatinya dalam sebuah perayaan kecil akan membawa orang percaya untuk selalu mengingat pemeliharaan Tuhan dalam hal-hal yang kelihatannya kecil maupun dalam hal-hal besar. Melalui perayaan-perayaan lebih sederhana, orang percaya juga dapat saling menguatkan untuk lebih beriman kepada Tuhan di masa depan. Selain itu, perayaan-perayaan ini menjadi alat untuk membawa generasi selanjutnya tetap mengingat akan Tuhan dari generasi sebelumnya yang tetap akan memelihara hidup mereka di kemudian hari.
Di dalam konteks semacam inilah, Richard J. Foster dalam buku klasiknya ‘Celebration of Disciplines,’ menyebut bahwa disiplin dalam melakukan perayaan (discipline of celebration) adalah salah satu disiplin rohani yang dipakai oleh Roh Kudus untuk membangun kedewasaan iman Kristen. Tentu saja hal ini tidak boleh dijadikan sebuah taurat baru yang muncul dari ketakutan tetapi disiplin yang dijalankan dengan sukacita karena mensyukuri kebaikan Tuhan. Pengembangan disiplin semacam ini dapat menolong kita menumbuhkan rasa syukur dan sukacita dalam segala hal. Jadi, perayaan bukan hanya didorong oleh rasa syukur tetapi juga dapat mendorong munculnya rasa syukur yang dapat mengatasi ketakutan atau kekhawatiran akan masa depan. Kiranya Tuhan menolong kita untuk terus mengembangkan berbagai perayaan sebagai bagian dari disiplin rohani. (TDK)