Setia
“Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?” (Ams 20:6).
Seluruh Alkitab merupakan risalah tentang tema kesetiaan. Hampir pada setiap halamannya, kesetiaan Allah muncul dalam titah atau ilustrasi. Mustahil menggambarkan tindakan Allah tanpa menyinggung kesetiaan-Nya kepada umat-Nya. Bahkan ketika Yeremia meratapi penghakiman Allah atas Yehuda, masih dapat memaklumkan, “besar kesetiaan-Mu” (Rat 3:23).
Kitab Mazmur lebih dari kitab mana pun dalam Alkitab yang menuturkan tentang pergumulan orang saleh dan bagaimana mereka bergantung total kepada kesetiaan Allah. Tidak heran ketika Pemazmur merenungkan kesetiaan Allah, ia berkata, “Aku … hendak memperkenalkan kesetiaan-Mu dengan mulutku turun-temurun. Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya; kesetiaan-Mu tegak seperti langit” (Maz 89:1-2).
Setiap aspek hidup orang Kristen bertumpu pada kesetiaan Allah, dan kita mendapat jaminan bahwa “TUHAN setia dalam segala perkataan-Nya” (Maz 145:13). Dari sini kita sadar bahwa kita mutlak membutuhkan kesetiaan Allah. Kita bergantung kepada kesetiaan-Nya demi keselamatan kita (1 Kor 1:8-9), demi pembebasan dari pencobaan (1 Kor 10:13), demi pengudusan total (1 Tes 5:23-24), demi pengampunan dosa (1 Yoh 1:9), demi pembebasan pada masa penderitaan (1 Pet 4:19), demi penggenapan pengharapan akan hidup kekal (Ibr 10:23).
Kesetiaan bukanlah kebajikan alami, sebagaimana diisyaratkan oleh ratapan Salomo, “Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?” Banyak orang mengaku setia tetapi sedikit orang yang mempertunjukkannya. Kebajikan kesetiaan seringkali mahal dan sedikit orang yang mau bayar harganya. Bagi orang saleh, kesetiaan adalah sifat karakter yang mutlak secara hakiki, berapa pun harganya.
Apakah Kesetiaan Itu?
Kesetiaan dalam bahasa asli Alkitab bermakna sesuatu yang teguh dan dapat diandalkan. Kamus bahasa Inggris mendefinisikan setia sebagai teguh dalam menaati janji atau menjalankan kewajiban. Beberapa sinonim yang umum adalah dapat diandalkan, dapat dipercaya, terpercaya, dan loyal. Makna kejujuran atau integritas pun terkandung dalam kata itu. Orang yang setia adalah orang yang dapat diandalkan, terpercaya, dan loyal; yang dapat diandalkan dalam segala hubungan; yang jujur dalam segala urusannya.
Daniel adalah orang yang setia. Tentang dia dikatakan bahwa lawan-lawannya mencari alasan dakwaan terhadap Daniel dalam hal pemerintahan, tetapi mereka tidak mendapat alasan apa pun atau sesuatu kesalahan, sebab ia setia dan tidak ada didapati sesuatu kelalaian atau sesuatu kesalahan padanya (Dan 6:5).
Kejujuran Mutlak. Daniel tidak bersalah; ia jujur dan memegang prinsip. Jujur mutlak dalam berbicara dan dalam urusan pribadi harus menjadi tanda orang setia. Alkitab memberitahu kita, “Orang yang dusta bibirnya adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi orang yang berlaku setia dikenan-Nya” dan “Neraca serong adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi Ia berkenan akan batu timbangan yang tepat” (Ams 12:22; 11:1). Tuhan melihat sebagai suatu kekejian terhadap dusta dan transaksi bisnis yang tidak jujur.
Kita bukan hanya diperintahkan supaya jangan berdusta; kita juga diperintahkan supaya jangan menipu dengan cara apapun (Im 19:11). Dusta adalah segala tipuan, dengan perkataan, tindakan, sikap – atau dengan berdiam diri saja; dengan sengaja membesar-besarkan sesuatu, dengan menyimpangkan kebenaran, atau dengan membentuk kesan palsu. Kita berdusta atau menipu ketika kita berpura-pura – ketika berbuat curang dalam ujian sebagai siswa, atau tidak melaporkan seluruh pendapatan kita sebagai pembayar pajak.
Benar-benar dapat Diandalkan. Daniel tidak bersalah atau lalai. Ia dapat dipercaya atau diandalkan. Ia adalah orang yang menghadiri janji pertemuan tepat waktu, memegang komitmennya, menghormati kata-katanya, mempertimbangkan dampak tindakannya kepada orang lain.
Bagi orang yang mempraktikkan kesalehan, sikap dapat diandalkan adalah suatu utang kewajiban, bukan saja kepada sesama tetapi juga kepada Tuhan. Sikap dapat diandalkan bukanlah kewajiban sosial belaka tetapi juga kewajiban rohani. Mazmur 15, Daud mengajukan pertanyaan, “TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus?” Disusul daftar patokan etika yang harus dipegang seseorang kalau mau menikmati persekutuan dengan Allah. Salah satunya, “yang berpegang pada sumpah walaupun rugi”. Allah ingin kita bisa diandalkan bahkan sekalipun kita harus membayar harga mahal. Inilah yang membedakan kesetiaan yang saleh dari sikap dapat diandalkan yang lazim didapati dalam masyarakat sekular.
Keloyalan Teguh. Orang yang setia bukan saja jujur dan dapat diandalkan tetapi juga loyal. Kata ini rupanya mengandung arti melekat pada seseorang baik senang atau susah. Salomo menggambarkan keloyalan dengan kalimat, “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran” (Ams 17:17). Tidak ada orang yang disebut, “teman dalam cuaca baik.” Kalau keloyalan seseorang tidak menjamin kesetiaannya kepada orang lain dalam masa genting maka ia sama sekali bukan teman. Ia hanya memakai orang lain untuk memuaskan kebutuhan sosialnya sendiri.
Barangkali ilustrasi terbaik tentang keloyalan dalam Alkitab adalah cerita persahabatan Yonatan dengan Daud. Persahabatannya dengan Daud nyaris menuntut harga nyawanya di tangan ayahnya sendiri. Ajaibnya, Yonatan sadar bahwa keloyalannya kepada Daud akhirnya akan menuntut takhta Israel darinya. Apakah berupa kejujuran, sikap dapat diandalkan atau keloyalan, seringkali kesetiaan merupakan kebajikan yang mahal. Hanya Roh Kudus yang dapat memampukan kita untuk membayar harganya.
Namun ada keloyalan yang harus kita hindari, yaitu keloyalan buta. Keloyalan jenis ini menolak mengakui kekeliruan / kesalahan teman, dan sebetulnya merupakan perbuatan merugikan. Kitab Amsal memberitahu kita, “Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah” (Ams 27:6). Hanya kawan yang betul-betul setia dan peduli yang mau menunjukkan kesalahan kita – tugas yang sering tidak mendapatkan ucapan terima kasih. Tidak ada dari kita yang suka diperhadapkan dengan kesalahan atau dosa kita, maka seringkali kita membuat teman kita sulit berbuat demikian. Akibatnya, kebanyakan kita lebih suka mengatakan hal-hal yang menyenangkan satu sama lain daripada mengatakan kebenaran. Ini bukanlah keloyalan. Keloyalan mengatakan kebenaran dalam kesetiaan tetapi juga mengatakan dalam kasih. Keloyalan berkata, “Aku peduli kepadamu sehingga harus mencegahmu dalam tindakan salah / berdosa yang akhirnya akan mencelakakanmu.”
Memenuhi Tuntutan Allah
Langkah pertama untuk bertumbuh dalam kesetiaan adalah mengakui patokan Alkitab. Kesetiaan membutuhkan kejujuran mutlak, sikap yang sangat dapat diandalkan, dan keloyalan yang teguh. Kesetiaan adalah menjadi seperti Daniel, tidak bersalah atau lalai. Rencanakanlah untuk menghafalkan ayat-ayat tentang topik kesetiaan.
Langkah kedua, nilailah hidup Anda dengan bantuan Allah Roh Kudus dan pasangan atau teman dekat. Apakah Anda berusaha untuk betul-betul jujur? Dapatkah orang mengandalkan Anda bahkan sekalipun Anda harus membayar harga mahal? Akankah Anda melekat kepada sahabat Anda ketika ia dalam kesulitan, dan akankah Anda menentang dia dalam kasih ketika ia bersalah? Berusahalah memikirkan contoh-contoh khusus yang meneguhkan kesetiaan Anda atau yang menunjukkan kepada Anda di mana Anda perlu bertumbuh.
Anda tidak dapat menjadi orang setia hanya dengan berusaha tetapi juga Anda tidak akan menjadi orang setia tanpa berusaha. Ada suatu dimensi rohani di sini. Tuhan Yesus berkata kepada jemaat di Smirna, “Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan” (Wah 2:10b). Kesetiaan adalah sesuatu yang harus kita kerjakan meskipun pada saat bersamaan itu pun merupakan buah Roh.
Dalam perumpamaan tentang talenta, sang majikan menjawab, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat 25:21). Hanya kalau kita berusaha bertumbuh dalam anugerah kesetiaan barulah kita punya harapan mendengar Dia berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia.”[AA]
Di sadur dari buku Jerry Bridges, Hidup yang Berbuah. Bab 9, “kesetiaan” (Bandung: Pionir Jaya, 2008).