Tujuan hidup manusia
Katekismus Singkat Westminster diawali dengan pertanyaan, "Apakah tujuan utama hidup manusia?" Jawabannya: "Tujuan utama hidup manusia ialah memuliakan Allah dan menikmati Dia untuk selama-lamanya. Alasan keberadaan manusia tidaklah ditemukan di dalam diri manusia sendiri karena manusia diciptakan Allah menurut gambar dan rupa Allah. Manusia adalah gambar dan rupa Allah artinya dalam batasan tertentu, manusia merefleksikan sifat Allah.
Sebelum jatuh ke dalam dosa, pikiran dan kehendak manusia hanyalah melayani Allah dan bersukacita di dalam Dia. Namun kejatuhan ke dalam dosa mengubah segala sesuatu. Alih-alih memuliakan Allah dan menikmati hidup bersama Allah, manusia berpikir bagaimana memuliakan diri dan menikmati hidupnya sendiri. Oleh penebusan Kristus, gambar dan rupa Allah pada diri kita dipulihkan. Tujuan hidup kita dikembalikan pada rancangan Allah semula. Di dalam proses pengudusan, kita semakin hari semakin merefleksikan kemuliaan Allah.
Apa yang dimaksud dengan memuliakan Allah? Memuliakan Allah tidak berarti membuat Allah mulia. Allah sudah mulia sejak kekekalan. Memuliakan Allah berarti merefleksikan kemuliaan Allah di dalam setiap aspek kehidupan kita. "Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah." (1Kor 10:31). Kita tidak boleh membagi hidup kita ke dalam bidang-bidang yang terpisah satu dengan yang lain, seolah ada bidang yang "rohani", ada yang "duniawi." Misalnya, melayani sebagai anggota paduan suara dianggap "rohani" sedangkan berdagang di pasar dianggap "duniawi." Ini persepsi yang salah kaprah. Yang benar adalah, kita memuliakan Tuhan pada setiap waktu dan di dalam setiap aktivitas hidup kita. Ketika hidup kita mencerminkan kemuliaan Allah, maka orang lain akan melihat kehadiran Allah di dalam diri kita. Dengan demikian, diri kita menjadi bagian dari terang Allah yang menerangi seluruh dunia (Mat 5:14).
Memuliakan Allah berarti mengakui Dia sebagai Penentu tujuan hidup dan Pemerintah hidup kita. Apapun yang kita lakukan, kita harus menjadikan Allah dan firman-Nya sebagai pertimbangan utama. Hanya dengan cara itulah, maka kita dapat menjalani kehidupan yang benar (Rm 14:23; Kol 3:17, 23). Intinya, kita memuliakan Allah ketika mencerminkan karakter-Nya. Dengan kehidupan yang benar dan kudus, kita memberi kesaksian tentang kebenaran, kekudusan dan kemuliaan Allah. Ketika kita menunjukkan kemurahan hati dan pengampunan, kita memanfestasikan kemurahan dan belas kasihan-Nya. Ketika kita berjuang membela keadilan, kita memuliakan Allah sebagai satu-satunya Hakim yang adil.
Frase kedua dari jawaban pertanyaan pertama adalah "menikmati Dia untuk selama-lamanya." Menikmati yang dimaksud bukanlah menikmati kesenangan seperti yang dipahami manusia pada umumnya. Menikmati Allah berarti menjalin hubungan yang intim dengan Allah dan bersukacita di dalam Dia. Mazmur yang ditulis Asaf memberi gambaran akan hal ini. "Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya....Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan ALLAH, supaya dapat menceritakan segala pekerjaan-Nya (Mzm 73:25-28).
Sinclair Ferguson menyatakan bahwa ada empat cara untuk menikmati Allah.
Pertama, bersukacita di dalam keselamatan yang diberikannya di dalam Yesus Kristus. Allah bersukacita ketika kita diselamatkan (Luk 15:6-7, 9-10, 32), demikian pula seharusnya kita. Sumber sukacita itu adalah Tuhan sendiri dan hanya dapat kita peroleh melalui persekutuan dengan Kristus.
Kedua, bersukacita di dalam firman Allah. Mazmur 119 berulang kali menyatakan hal ini. Pemazmur "bersuka atas jalan kesaksian-Mu, seperti atas segala harta." (Mzm 119:14, bdk.35, 47, 70, 77, 103, 162, 174). Yesus mengatakan hal senada, "Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh." (Yoh 15:11). Jalan menuju sukacita adalah membawa diri kita pada perjumpaan dengan firman Allah secara maksimum dan membiarkan firman itu berdiam di dalam kita secara penuh (Kol 3:16).
Ketiga, bersukacita di dalam persekutuan umat Tuhan. Kita menikmati Allah atau bersukacita di dalam Allah ketika beribadah bersama umat Tuhan. Di dalam ibadah yang berisi pujian, permohonan, pemberitaan firman, persembahan, perjamuan kudus, kita akan mengalami sukacita. "TUHAN Allahmu ... bergirang karena engkau dengan sukacita, ..." (Zef 3:17). Oleh karena Tuhan bergirang atas kita, maka hati kita juga bersukacita atas Dia.
Keempat, bersukacita di dalam penderitaan. Ini adalah paradoks ilahi, bahwa ada sukacita di dalam dan melalui penderitaan. Penderitaan menjadi jalan Allah untuk membentuk kita agar serupa dengan Kristus. Kita bermegah (dan bersukacita) di dalam penderitaan karena "kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan,dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan Suji menimbulkan pengharapan." (Rm 5:3,4, bdk. 1Pet 1:3-8, Yak 1:2-4). Keyakinan bahwa tangan Allah menopang kita tidak hanya membuat kita teguh tetapi juga membuat kita bersukacita.
Sebagai kesimpulan: semakin kita memuliakan Allah, semakin kita akan menikmati Dia dan semakin kita menikmati Dia, semakin kita akan memuliakan Dia. *** (BSB).