Bagikan artikel ini :

Bahagia bukan tujuan hidup

2 Korintus 4:7-18

Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.
- 2 Korintus 4:16

Edith Weisskopf-Joelson, guru besar psikologi di Universitas Georgia, Amerika Serikat mengatakan bahwa filosofi kesehatan mental terlalu menekankan pada gagasan bahwa manusia harus bahagia; bahwa tidak bahagia merupakan gejala penyimpangan. Sistem nilai yang seperti itu menyebabkan semakin meningkatnya beban yang dirasakan orang yang tidak bahagia, yang ketidakbahagiaannya tak terelakkan. Apakah Anda setuju pendapatnya? Bagaimana selama ini orang mendapatkan kebahagiaan? Kebahagiaan didapat dari terpenuhinya kebutuhan dan keinginan. Persoalannya, apakah manusia dapat dipuaskan?

Rasul Paulus melihat tujuan hidup dari sisi lain. Ia tidak mengejar kebahagiaan sebagaimana didefinisikan dunia. Ketika kondisi fisiknya merosot, ia justru tidak terlalu peduli. Ketika gerak fisiknya semakin terbatas, selera makannya menurun, jam tidurnya berkurang, penglihatannya berkurang, ia mengalihkan fokusnya justru pada manusia batiniah. Jika kita masih tetap menganggap kebahagiaan sebagai tujuan hidup, maka definisi kebahagiaan menurut Rasul Paulus sangat berbeda.

Kebanyakan orang takut menerima tantangan untuk menderita. Itu sebabnya banyak orang takut menjadi tua. Tua berarti fisik mundur. Banyak orang stres ketika mengalami kemunduran fisik. Topik doa yang paling banyak diminta ketika saya mengunjungi jemaat adalah kesehatan. Persoalannya tidak terletak pada menurunnya kesehatan, tetapi pada sikap kita terhadap hal itu. Dengan menerima tantangan untuk menderita dengan berani, hidup memiliki makna sampai detik yang terakhir.

Menurut Viktor Frankl, sebuah kehidupan yang maknanya hanya tergantung pada keadaan tertentu—misalnya tergantung dari keberhasilan atau ketidakberhasilan seseorang—pada dasarnya bukan kehidupan yang layak dijalani. Jadi, bukanlah persoalan situasi apa pun yang menghampiri kita, yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita memberi makna terhadap situasi itu. Frankl mengatakan bahwa yang dibutuhkan manusia bukan menghilangkan tekanan melainkan panggilan untuk mencari makna potensial yang harus dia penuhi.

Akhir kata, sama seperti yang disampaikan Paulus pada ayat 17 bahwa penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya. Ya, tujuan akhir hidup kita adalah kebahagian kekal yang kita dapatkan nanti di sorga saat kita bersama-sama Yesus dalam kekekalan.

Refleksi Diri:

  • Apa tujuan hidup Anda selama ini? Apakah Anda mengejar kebahagiaan menurut definisi dunia ini?
  • Apa yang Anda akan lakukan untuk mengejar kebahagiaan kekal yang Yesus tawarkan?