Bagikan artikel ini :

Kesenangan Di Atas Kebenaran

2 Tawarikh 18:1-17

Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya.
- 2 Timotius 4:3

Yosafat adalah raja Yehuda yang baik. Ia memimpin kerajaannya dengan berlandaskan firman Tuhan dan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya (1Taw. 17). Sayangnya, ia menjadi besan Ahab, raja Israel yang fasik. Suatu hari, Ahab mengajak Yosafat menggempur Ramot-Gilead. Ia setuju tetapi sebelum berangkat tempur, ia ingin mengetahui kehendak Tuhan. Ahab memanggil nabi-nabinya. Tidak tanggung-tanggung, empat ratus orang. Mereka satu suara mendukung peperangan tersebut, menubuatkan kemenangan Ahab dan Yosafat. Namun Yosafat mencium kebusukan di balik nubuat itu. Nabi-nabi yang dipanggil adalah nabi yang “dibeli” Ahab. Mereka bernubuat atas pesanan. Maka Yosafat meminta agar nabi lain dihadirkan. Muncullah Mikha. Nubuat Mikha sama sekali tidak disukai Ahab. Akibatnya, Mikha dipenjarakan dan diperlakukan dengan keji.

Kebenaran menyakitkan tetapi dusta lebih menyakitkan. Nietzsche, filsuf Jerman, mengatakan, “Kadangkala orang tidak mau mendengar kebenaran karena mereka tidak mau ilusi (khayalan) mereka dihancurkan.” Kita seringkali datang ke gereja dengan harapan mendengar khotbah yang menyenangkan hati, yang menjanjikan kebahagiaan, kesuksesan, dan kesehatan. Ketika yang kita dengar adalah teguran atas dosa, seruan pertobatan, tuntutan untuk hidup lebih baik, kita merasa tidak nyaman. Kita membela diri, “Ah, teori, nggak realistis,” “Emang pengkhotbahnya sudah hidup bener?” “Nggak mungkinlah, kita masih hidup di dunia,” dan berbagai alasan untuk ngeles.

Penyebab ketidaksanggupan kita mendengar dan menerima kebenaran adalah karena kita sudah memiliki hasrat atau keinginan tertentu tentang apa yang mau kita dengar. Ibarat masuk restoran, kita sudah rencanakan mau makan apa, sudah bayangkan enaknya makanan yang akan disantap. Ketika makanan yang tersaji tidak sesuai dengan harapan, kita kecewa, “Ah, nggak enak.” Baiklah kita memerhatikan apa yang dikatakan Nabi Mikha, “Demi TUHAN yang hidup, sesungguhnya, apa yang akan difirmankan Allahku, itulah yang akan kukatakan.” (ay. 13). Dengarkanlah pengkhotbah yang mengatakan kebenaran dari hati Tuhan, bukan kesenangan untuk hati manusia.

Refleksi Diri:

  • Bagaimana selama ini Anda bersikap atas firman yang disampaikan pengkhotbah yang menyatakan teguran akan dosa dan seruan untuk bertobat?
  • Apakah Anda selalu mengutamakan kebenaran Allah di atas kesenangan pribadi?