Bagikan artikel ini :

Kesia-siaan Kekayaaan

Pengkhotbah 5:7-6:2

Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Itu pun sia-sia”.
- Pengkhotbah 5:9

Banyak orang mencari dan menjadikan kekayaan sebagai sumber kepuasan dan makna hidup. Pengkhotbah pun ingin mengetahui apakah kekayaan dapat memuaskan hatinya? Pengkhotbah mengawali dan mengakhiri kitabnya dengan seruan “kesia-siaan belaka” dan “segala sesuatu adalah sia-sia”. (Pkh. 1:2; 12:8). Frasa “kesia-siaan” (Ibrani: hebel) yang diulang-ulang, punya makna meaningless, seperti hembusan napas. Jadi, kesenangan dan kekayaan hanyalah meaningless, sekejap hilang seperti hembusan napas saja.

Apakah ini pandangan sinis terhadap orang kaya? Apakah pengkhotbah mengkritik karena iri hati terhadap orang kaya? Tentu saja tidak! Salomo memiliki kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan melimpah. Total kekayaan Salomo–baru dari warisan Daud, belum termasuk kekayaan pribadinya–pada waktu memerintah adalah Rp. 1.207,5 triliun atau setara US$ 127 miliar.

Meskipun kekayaannya berlimpah, Salomo melihat kekayaan tidak bisa dinikmati orang tamak yang hatinya tidak pernah puas. (ay. 9-10). Kekayaan justru mendatangkan kemalangan bagi pemiliknya. (ay. 12-16). Kekayaan juga hanya dapat dinikmati jika Tuhan mengizinkannya. (Pkh. 5:17-6:2).

Bagaimana seharusnya sikap orang Kristen terhadap kekayaan? Pertama, cintailah Tuhan melebihi kekayaan. (1Tim. 6:9-10). Kekayaan tidak dapat mendatangkan kepuasan sejati. Semakin besar kekayaan seseorang, justru semakin besar pula muncul kekhawatirannya. Fisikawan Perancis, Blaise Pascal berkata, “Ada ruang kosong dalam diri manusia yang tidak dapat diisi dengan hal-hal materi, tetapi hanya oleh hal yang ilahi.” Hanya Tuhan satu-satunya yang dapat memuaskan jiwa kita. Dialah sumber damai sejahtera kita (Yoh. 14:27).

Kedua, jadikan kekayaan sebagai hamba/sarana untuk melayani Tuhan dan sesama. Christopher Columbus, berkata, “Riches don’t make a man rich. They only make him busier.” Apabila seseorang menjadi kaya, mereka cenderung disibukkan untuk membelanjakan uangnya. Membeli mobil dan rumah yang lebih bagus, jalan-jalan ke luar negeri, beli ini, beli itu. Mereka membeli gaya hidup yang
mencerminkan mereka kaya. Kekayaan bisa jadi berhala, tapi bisa juga jadi hamba untuk melayani Tuhan. Manfaatkan kekayaan untuk kemuliaan Tuhan. Seperti yang disampaikan John Wesley, “Make all you can, save all you can, give all you can.”

Refleksi Diri:

  • Apakah Anda puas dengan kekayaan Anda sekarang? Bagaimana Anda bersikap?
  • Bagaimana cara Anda memanfaatkan kekayaan? Apakah untuk mendukung pekerjaan Tuhan dan menolong sesama?