Bagikan artikel ini :

Mengampuni Dan Kepercayaan

Kejadian 44

Dan pialaku, piala perak itu, taruhlah di dalam mulut karung anak yang bungsu
serta uang pembayar gandumnya juga.” Maka diperbuatnyalah seperti yang
dikatakan Yusuf.
- Kejadian 44:2

Mengampuni dan kepercayaan (atau percaya lagi setelah memberi pengampunan) adalah dua hal yang berbeda. Jangan gabungkan kedua hal itu. Dan bukan berarti kita harus merohanikan segala sesuatu. Jangan menghakimi dan berkata, “Mengampuni itu harus total, kalau kamu mengampuni tapi tidak percaya lagi, itu artinya kamu tidak total dalam mengampuni.” Lho.. nggak gitu!

Tuhan menciptakan kita dengan hati dan pikiran. Dulu ada film berjudul, Hatiku Bukan Pualam (yang tahu film ini artinya sudah senior, hihihi...). Hati manusia bisa merasakan. Sedangkan pualam adalah batu alam, benda mati yang tidak bisa merasakan apa pun. Saat kita mengampuni, butuh proses. Kita bukan mesin otomatis, yang tinggal pencet ON lalu jalan dan pencet OFF lalu bisa segera stop.

Yusuf dilukai, dikhianati, dijual, ditinggalkan oleh saudara-saudaranya. Tentu sakit sekali. Yusuf butuh waktu lama untuk pulih. Waktu tak bisa memulihkan lukanya. Waktu hanya membuatnya “terbiasa” dengan luka yang ada.

Sampai Tuhan izinkan Yusuf berjumpa kembali dengan saudara-saudaranya yang dulu melukainya, Yusuf tak lupa. Ia menangis keras meluapkan perasaanya. Yusuf ingat kembali peristiwa saat remaja, bagaimana ia dimasukkan ke dalam sumur gelap. Ia ingat ketakutan yang dialaminya atas perbuatan saudara-saudaranya sendiri. Namun, Yusuf memilih taat kepada Allah dan ia mengampuni.

Apakah Yusuf langsung percaya kepada kakak-kakaknya? Tidak! Yusuf butuh waktu dan ia taruh piala itu sebagai alat tes sebelum kembali memercayai kakak-kakaknya. Jadi, jelas ya Tuhan mau kita jadi orang yang suka mengampuni tetapi kepercayaan yang sudah dilanggar tersebut bagaikan tulang yang patah, butuh waktu untuk pulih. Artinya, antara pengampunan dan percaya kembali, perlu proses dan waktu sampai orang yang diampuni memang membuktikan diri bahwa ia bisa dipercaya lagi.

Jangan naif! Jangan menyalahkan diri mengapa kita tidak bisa memercayai orang tersebut lagi? Itu bukan tugas kita, itu tugasnya orang tersebut membuktikan dirinya bisa dipercayai lagi atau tidak. Tugas kita adalah mengampuni dan membuka diri untuk terus mengampuni, tetapi bukan berarti membuka diri untuk terus dan terus diperdayai dan dilukai.

Refleksi diri:

  • Apakah Anda sudah melakukan bagian untuk mengampuni sebagai wujud ketaatan Anda kepada Tuhan?
  • Jika Anda yang bersalah dan diampuni, sudahkah Anda membuktikan diri atas kepercayaan yang Anda dapatkan?