Bagikan artikel ini :

Pengkhianat Dalam Pernikahan

Maleakhi 2:10-16

Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya.
- Maleakhi 2:15

Kalau mendengar kata “pengkhianat”, nama Yudas Iskariot langsung terbayang dalam kepala kita. Di masa kini, mungkin para pengkhianat adalah mereka yang murtad dan meninggalkan iman, atau mereka yang pindah gereja atau denominasi. Jadi, mungkin kita akan kaget ketika membaca bagian ini saat disampaikan bahwa mengkhianati istri pertama sama dengan mengkhianati Tuhan sendiri. Orang-orang Israel pada saat itu menceraikan istri-istri mereka untuk menikahi “anak perempuan allah asing”, yakni wanita-wanita non-Israel penyembah berhala (ay. 11).

Saya percaya (dan berharap) tidak ada di antara Anda yang berpikir untuk menceraikan pasangan Anda, lebih-lebih untuk menikahi orang yang belum percaya. Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa bercerai adalah dosa besar. Larangan untuk bercerai juga diiringi dengan perintah untuk membangun kehidupan pernikahan yang indah. Entah berapa banyak orang Kristen yang tidak bercerai tetapi sudah seperti orang asing dengan pasangannya. Ini pun bukan hal yang dikehendaki Tuhan.

Memang perlu usaha dan niat untuk menyisihkan waktu bagi pasangan di tengah zaman modern yang penuh tantangan dan tuntutan. Anda bekerja setiap hari. Ketika pulang atau ada hari libur, Anda menghabiskan waktu bersama-sama dengan anak. Di hari Minggu, Anda beribadah dan pelayanan. Jika menunggu mood, waktu untuk kedekatan tidak akan pernah datang. Berbeda dengan di novel-novel atau film drama, seringkali kedekatan dan kemesraan harus diusahakan, bahkan dijadwalkan. Jordan Peterson, seorang psikolog Kanada, menyarankan total minimal empat jam per minggu untuk berkencan (siapa bilang hanya orang-orang yang berpacaran yang boleh kencan?), menjalin hubungan yang dekat sekali atau dua kali per minggu, dan melakukan percakapan mendalam (bukan hanya sekedar membicarakan anak atau uang) minimal selama sembilan puluh menit per minggu. Apakah jadwal seperti ini realistis untuk dilakukan, khususnya bagi Anda yang sibuk, bukanlah pertanyaan terpenting. Pertanyaan terpenting adalah apakah Anda memiliki niat untuk membangun kedekatan dengan pasangan? Perlu digarisbawahi, landasi kedekatan Anda dengan pasangan di atas dasar kedekatan dengan Tuhan Yesus Kristus.

Refleksi diri:

  • Bagaimana kehidupan pernikahan Anda? Apakah hanya sekadar lalu saja? Sehatkah kehidupan pernikahan seperti itu?
  • Bagaimana usaha Anda membangun kedekatan di dalam kehidupan pernikahan Anda?