Bagikan artikel ini :

Pride And Prejudice

Amos 7:10-17

bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat?
- Yakobus 2:4

Baru saja kita membaca bagaimana Amos bersyafaat untuk bangsa yang bahkan bukan kerajaan tempatnya tinggal, kini kita membaca bagaimana bangsa itu justru mengusir dan merendahkannya. “Kamu itu cuma peternak. Tahu apa kamu?” kata mereka. “Kamu jadi nabi karena usahamu gagal, kan?” “Kita di Israel sudah punya banyak nabi. Balik ke Yehuda sono! Cari duit di sana!” “Kamu dari Yehuda dan nyinyir aja karena Israel jauh lebih sukses daripada kamu!”

Saya jadi ingat sebuah novel jadul berjudul Pride and Prejudice yang menggambarkan sikap seperti ini. Dikisahkan seorang gadis bernama Elizabeth bertemu dengan seorang pria bernama Mr. Darcy. Novel ini adalah novel satirical (bersifat menyindir) mengenai akibat dari pride (kesombongan) dan prejudice (prasangka negatif) yang ditujukan Elizabeth terhadap Mr. Darcy. Hal yang sama terjadi di bagian yang kita baca. “Ia ini cuma peternak. Pasti bodoh,” “Ia ini dari Yehuda. Pasti pesan kenabiannya bukan dari Tuhan tapi dilandasi iri hati,” dan lain sebagainya.

Di dalam hidup bersosial, kita sering mengadopsi mentalitas Us vs Them (“kami melawan mereka”) dan memiliki prejudice terhadap mereka yang kita golongkan “Them”. Entahkah pengucilan ini berdasarkan status ekonomi, usia, ras, jumlah followers di social media, pandangan politik, agama, bahkan denominasi gereja dan doktrin yang dianut. “Pokoknya, mereka tidak ada baik-baiknya.” “Pokoknya mereka pasti salah, bodoh, jahat, dan sebagainya.” Bahkan di dalam keluarga pun, ini sering terjadi. “Kalau suamiku/istriku/ anak-anakku/orangtuaku lebih X, Y, dan Z, pasti tidak akan ada masalah.” Kita membangun gambaran mental bahwa golongan Them inilah akar dari segala masalah. Akibatnya, pikiran kita menjadi tertutup dan susah mendengarkan nasihat, teguran, kritik, dan pendapat dari orang lain, sama seperti Amazia terhadap Amos. Siapa yang akhirnya rugi sendiri? Kita. Pergaulan jadi terbatas, pikiran jadi cupat (berpandangan pendek).

Memang mudah membuka telinga untuk orang yang kita kagumi. Namun, bisakah kita membuka telinga sedikit saja untuk orang yang kita sisihkan?

Refleksi diri:

  • Apakah ada golongan tertentu yang Anda kategorikan sebagai “Them”?
  • Jika ada, apakah Anda pernah mencoba duduk, memberi telinga, dan menempatkan diri di posisi mereka?