Saksi-saksi Iman: Habel
Ibrani 11:4; Kejadian 4:1-16
Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
- Kolose 3:23
Patut disayangkan gereja masa kini terkadang memiliki konsep yang salah tentang iman. Iman hanya dikaitkan dengan keselamatan dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Iman seringkali didefinisikan sebagai pengetahuan akan seperangkat pernyataan teologis yang kemudian dipercayai. Ibrani 11:1-2 sering dipakai untuk mendukung definisi ini. Namun, definisi ini terlalu sempit! Iman sebagaimana diteladankan oleh para saksi-saksi iman dalam Ibrani 11 sangatlah praktis dan tidak “diawang-awang”. Hari ini kita mulai dengan Habel.
Sesudah manusia jatuh ke dalam dosa, kehidupan mereka menjadi sangat sulit (Kej. 3:17-19). Panen bisa saja gagal. Wabah bisa saja menyerang. Intinya, kita tidak dapat mengontrol masa depan. Apa pun yang kita kerjakan dapat berakhir dengan kesia-siaan dan kegagalan sehingga muncul pemikiran, apa gunanya mengusahakan yang terbaik? Bukankah ini yang dilakukan oleh Habel? Meski kakak-beradik tersebut sama-sama memberikan persembahan, Kain hanya “mempersembahkan sebagian dari hasil tanah”, mengindikasikan bahwa persembahannya adalah ala kadarnya. Habel, sebaliknya, memberikan yang terbaik (Kej. 4:4). Bagian ini umumnya ditafsirkan bahwa sikap Kain dan Habel tidak hanya berlaku dalam aspek ibadah, tetapi juga dalam aspek-aspek hidup lainnya, misalnya pekerjaan.
Meski Habel memberikan yang terbaik dan Tuhan mengindahkannya, kelihatannya sia-sia saja yang dilakukannya. Pada akhirnya ia mati dibunuh kakaknya. Kain, sebaliknya, meski persembahannya tidak diindahkan Tuhan dan dihukum, malah pada akhirnya membangun kota dan memiliki keturunan-keturunan yang luar biasa (Kej. 4:17-24).
Mengapa orang baik berakhir tragis dan yang tidak baik berakhir sukses? Di sinilah iman sangat berperan. Terkandung pula dalam pengertian iman, yakni suatu sikap untuk tetap memberikan yang terbaik, meski sepertinya kerja keras kita kelihatan sia-sia dan justru mereka yang ala kadarnya lebih sukses. Mengapa? Karena, “Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu…” (Ibr. 11:4b).
Anda punya rekan kerja yang asal-asalan, sering lewat tenggat waktu, bahkan suka melimpahkan tugas, tetapi mendapat promosi? Padahal Anda yang bekerja keras tidak dihargai sedikit pun? Dalam kondisi seperti ini, apakah Anda tetap memberikan yang terbaik? Karena meski atasan Anda tidak melihat, iman Anda mengatakan bahwa Tuhan tidak buta.
Refleksi Diri:
- Apakah selama ini Anda telah memberikan yang terbaik dalam setiap aspek hidup Anda (keluarga, pekerjaan, pelayanan, dsb.)? Jika tidak, mengapa?
- Bagaimana respons Anda saat merasa usaha Anda sia-sia dibandingkan mereka yang asal-asalan malah “kelihatannya” lebih sukses?