Bagikan artikel ini :

Sumbu Pendek

Pengkhotbah 7:9

Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;
- Yakobus 1:19

"Sumbu pendek” adalah sebuah julukan yang disematkan kepada mereka yang mudah terprovokasi oleh hasutan tertentu. Orang-orang yang cenderung temperamental dan mudah tersulut emosinya, dianalogikan seperti “sumbu pendek” yang cepat habis dan meledak bila dibakar. Seperti yang kita sering lihat, kaum “sumbu pendek” begitu mudahnya dimanfaatkan oleh orang lain. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang bodoh, kata Raja Salomo.

Di masa kini, keberadaan internet dan sosial media membuat kita makin mudah menjadi sumbu pendek. Narasi-narasi yang beredar menggiring publik sehingga mudah sekali terprovokasi dan tersulut. Pada akhirnya, kekacauan muncul dimana-mana. Yang menang adalah mereka yang melakukan provokasi tersebut. Kalangan sumbu pendek itu sendiri? Tidak ada untungnya bagi mereka! Sebaliknya, “amarah menetap dalam dada” mereka, seperti orang bodoh.

Meski keberadaan mereka makin menjamur berkat bantuan internet, sumbu pendek sudah ada bahkan sejak zaman Tuhan Yesus. Aneh sekali orang-orang Yahudi menghendaki
Yesus disalib (Yoh. 18:28-19:16), padahal Dia tidak pernah salah apa-apa terhadap mereka, bukan? Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang pernah menerima atau menyaksikan mukjizat-Nya dan mendengar pengajaran-Nya yang penuh hikmat. Jadi, mengapa mereka berseru “salibkan Dia!”? Apakah mengikuti kehendak para imam kepala? Jawabannya karena mereka adalah kalangan sumbu pendek yang mudah sekali terprovokasi untuk mewujudkan keinginan para imam kepala yang iri dan merasa tersaingi oleh Yesus. Sementara itu, para sumbu pendek ini sendiri tidak menerima keuntungan apa-apa.

Kita dengan mudahnya mengecam golongan ini atau itu sebagai “sumbu pendek”. Namun, bagaimana jika kita berkaca? Apa yang kita rasakan ketika membaca chat di grup-grup media sosial yang tidak jelas sumber dan kebenarannya? Jangan-jangan kita pun terprovokasi dan menjadi lekas marah.

Memang, jurnalisme di masa kini telah diselewengkan. Fungsinya bukan lagi untuk memberitakan fakta melainkan untuk menggiring opini. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Jadilah orang yang berhikmat yang tidak mentah-mentah menerima segala informasi, tetapi selalu memeriksa kembali kebenaran informasi tersebut. Selain itu, hendaklah kita cepat dalam mendengar firman Tuhan, tetapi lambat dalam berkata-kata apalagi marah.

Refleksi Diri:

  • Apa saja informasi-informasi dari internet dan sosial media yang sering Anda dengar? Apakah Anda dibuat marah atau terprovokasi oleh berita-berita tersebut?
  • Bagaimana cara Anda memeriksa kembali kebenaran berita yang Anda terima?