Bagikan artikel ini :

Turut Berduka

Pengkhotbah 7:3-6

Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
- Matius 5:4

Ayat yang kita baca hari ini sepertinya berkebalikan dengan pesan Salomo di seluruh Kitab Pengkhotbah. “Bukankah Salomo mengatakan lebih baik makan, minum, dan bersenang-senang? Kenapa sekarang malah dikatakan lebih baik bersedih?”

Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk diketahui bahwa kata “tertawa” (ay. 3) dapat diterjemahkan secara berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa kata ini lebih tepat diterjemahkan “marah” sehingga pesannya adalah “bersedih lebih baik daripada marah”. Namun, tafsiran yang lebih tepat di sini adalah tertawa mengejek. Jadi, maksud ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya adalah ketika melihat seseorang yang berduka, lebih baik kita menghiburnya daripada menjadikannya hiburan dan menertawakannya.

“Ah, semua orang juga tahu!” Oh, ya? Jika demikian, mengapa kisah seseorang yang berduka atau tertimpa masalah kita jadikan hiburan dengan menggosipkannya? Atau, kemalangan orang tersebut kita jadikan tempat untuk menghakiminya dan merasa benar sendiri, “Dia sih jahat padaku! Sekarang dia tertimpa musibah!” Bahkan, Anda yang telah
menjadi orangtua pernah melakukan hal ini kepada anak Anda dengan mengatakan, “Makanya mama bilang juga apa? Kamu sih tidak mendengarkan mama!” “Masak hal begini saja bikin kamu sedih?! Papa dulu lebih susah, tapi tidak secengeng kamu!” Kata-kata demikian termasuk apa yang Salomo kecam sebagai “tertawa orang bodoh” yang terdengar seperti “bunyi duri terbakar di bawah kuali” (ay. 6)

Jadi, apa yang harus dilakukan ketika melihat seseorang mengalami kemalangan, entah karena kesalahan orang lain atau kesalahannya sendiri? Jawabannya adalah turut merasakan penderitaannya! Tidak perlu tawa mengejek, tidak perlu penghakiman, tidak perlu omelan. Bukankah ini yang Tuhan Yesus lakukan ketika melihat kebebalan bangsa-Nya (Luk. 19:41)? Menarik jika kita baca di keempat Injil, bagaimana Tuhan Yesus menangis saat melihat kebebalan dan kemalangan yang akan menimpa Israel, tetapi berbeda dengan yang dicatat dalam “injil-injil” palsu apokrifa (mis: Injil Thomas, Injil Yudas Iskariot), dikatakan Dia malah tertawa saat melihat ini.

Bisa berempati dan turut merasakan penderitaan orang lain bukanlah sesuatu yang kita—sebagai manusia berdosa—secara natural lakukan. Namun, marilah kita belajar menjadi orang berhikmat dengan menunjukkan belas kasihan kepada orang lain.

Refleksi Diri:

  • Apa tindakan yang pernah/sering Anda lakukan dari beberapa bentuk “tertawa orang bodoh” pada alinea 3? Mengapa Anda melakukannya?
  • Apa tindakan/kata-kata yang sekarang ingin Anda berikan kepada mereka yang tertimpa kemalangan setelah membaca renungan ini?