Bagikan artikel ini :

Bukan cinta biasa

Matius 5:43-48

Ekspresi Pribadi

Ada perbedaan besar antara Kekeristenan dengan agama-agama lain. Keunikan kekeristenan sangatlah menonjol khususnya dalam cara mereka memperlakukan musuhnya. Seorang pemimpin uni soviet bernama Nikita Khrushchev memahami ini yang diungkapkan melalui sebuah pernyataan: “Ketika seseorang menyerang wajah Anda [orang Kristen], Anda memberikan pipi yang lain. Tetapi jika Anda memukul wajah saya, saya akan memukul Anda begitu keras sehingga kepala Anda akan jatuh.”

Bagaimana Anda memandang keunikan Kekeristenan ini? Apakah keunikan itu semakin pudar dalam kehidupan kekeristenan atau justru semakin kontras dengan apa yang diajarkan oleh dunia dan standarnya? Diskusikan dalam CG Anda.

Eksplorasi Firman

Kotbah di bukit merupakan rangkaian pengajaran Tuhan Yesus yang ditunjukkan kepada para murid mengenai kehidupan dengan cara baru, yaitu kehidupan yang berdasar pada standar Kerajaan Allah. Termasuk mengenai soal mengasihi. Perintah lama mengajarkan “kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu” [bdk Im 19:18]. Bagi orang Yahudi, sesama manusia yang dimaksud disini dipahami secara sempit, yaitu merujuk pada lingkaran terdekat dengan mereka, yang sebangsa dan seiman dengannya. Di luar itu, bukanlah sesama (bdk Im 19:18a; Luk 10:25-37). Maka, kasih hanya berlaku secara sempit, ekslusif dan bersyarat pada orang-orang yang masuk dalam kategori sesama seperti yang mereka maksud. Apalagi untuk seorang musuh, yang layak mereka terima secara rasional adalah kebencian. Bagi mereka lawan dari kasih adalah benci, sehingga membentuk formula “sesama dikasihi, musuh dibenci.” Namun, Yesus mengajarkan bahwa setiap murid Kristus harus memiliki kasih yang melampaui kasih yang demikian. Bukan kasih yang terbatas tetapi kasih yang tidak terbatas dan tidak bersyarat. Kasih yang demikian adalah kasih yang dapat mengasihi siapapun (ay. 44). Hal ini tentu saja dibarengi dengan persfektif yang lebih luas di dalam memahami “sesama manusia.” Bagi Yesus sesama manusia adalah siapapun manusia secara inklusif, sekalipun terbentang adanya perbedaan dengan diri-Nya. Termasuk di dalamnya adalah musuh yang membenci diriNya, Mereka pun layak untuk dikasihi, dan bahkan didoakan, sebagai ungkapan dari kasih itu sendiri [bdk Im 19:34, Ams 25:21-22; Rm 12:20-21]. Alfred Plummer pernah mengatakan, "Membalas kebaikan dengan kejahatan adalah tabiat Iblis; membalas kebaikan dengan kebaikan adalah tabiat manusiawi; membalas kejahatan dengan kebaikan adalah tabiat ilahi.” Sikap demikianlah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang telah mengalami kasih ilahi. Setidaknya ada dua hal penting, ketika seseorang mengekspresikan kasih yang tidak terbatas sebagai sebuah peneladanan terhadap Bapa

Mengkonfirmasi status sebagai anak-anak Allah [ay. 45]

Kasih yang tidak terbatas merupakan gambaran dari kasih Bapa. Tuhan Yesus menegaskan bahwa Bapa di Sorga mengasihi siapapun tanpa memandang bulu. Kasih Bapa yang universal ini termanifestasi dalam kebaikan yang dianugerahkan kepada semua orang, seperti menerbitkan matahari dan menurunkan hujan kepada siapapun, baik kepada orang benar maupun kepada orang jahat, mereka menikmati berkat Allah, yang disebut sebagai anugerah umum. Sama seperti Bapa, maka setiap anak-anak Bapa harus berperilaku sama, yaitu menunjukkan sikap kasih yang demikian. Mengasihi siapapun tanpa pengecualian.
Dengan kata lain, mengasihi tanpa batas, merupakan konfirmasi yang menunjukkan bahwa seseorang adalah anak-anak Allah, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga” (ay. 45). Mengasihi musuh adalah bukti dan bukan syarat menjadi anak-anak Allah.

Mengekspresikan kesempurnaan hidup [ay. 48]

Melalui pertanyaan retorisnya, yang terbentang dari ayat 46-47, Tuhan Yesus ingin menegaskan bahwa mengasihi musuh merupakan kasih yang istimewa dan melampaui perbuatan kasih yang dapat dilakukan oleh manusia. Mengasihi orang yang mengasihinya adalah biasa. Tetapi mengasihi orang yang tidak sepantasnya dikasihi, baru luar biasa aliasdi atas standar rata-rata. Sikap demikian adalah sikap yang sempurna. Sama seperti Bapa yang mengasihi siapapun adalah sempurna. Tujuan akhir perjalanan kehidupan kita adalah kesempurnaan ini [teleios, “dewasa, kulminasi, mencapai tujuan”], “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna”(ay. 48). Kehidupan yang sempurna itu ditandai dengan adanya kasih yang sama seperti kasih Bapa.

Yesus menjadi teladan menjalani kehidupan yang sempurna. Totalitas hidup-Nya mengekspresikan kasih yang abstrak menjadi nyata. Terutama, kematian-Nya di Kalvari menjadi ekspresi yang sempurna dan tertinggi dari kasih tanpa batas. Ia berkorban agar kita yang merupakan musuh Allah dapat didamaikan kembali dengan-Nya (Rm 5:8). Sikap radikal yang Yesus lakukan di dalam mengasihi seharusnya menjadi bagian dalam kehidupan kita. Kita dipanggil untuk mengikuti jejak Yesus dan hidup sama seperti Yesus hidup. Tentu saja kita membutuhkan pertolongan kuasa Roh Kudus, yang memungkinkan bagi kita untuk hidup semakin serupa dengan Yesus, hidup sepenuhnya mengasihi tanpa batas; tanpa diskriminasi, terbuka untuk semua orang, inklusif. Dalam sebuah kotbahnya yang berjudul “Loving your enemy,” Martin Luther King yang saat itu dipenjara sebagai konsekwensi dari keberaniannya menuntut persamaan hak bagi orang Negro, mengatakan “kebencian melipatgandakan kebencian… tetapi kasih adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah musuh menjadi teman, karena ia memiliki kekuatan “kreatif” dan “menebus.”

Aplikasi Kehidupan

PENDALAMAN

Bagaimana orang percaya dapat memiliki kasih yang sama seperti kasih Allah, yaitu kasih tanpa batas?

PENERAPAN

Mengapa banyak orang Kristen yang hidupnya tidak memperlihatkan kehidupan yang mencerminkan kasih dan itu berpotensi menjadi batu sandungan bagi orang lain?

Saling Mendoakan

Akhiri Care Group Anda dengan saling mendoakan satu dengan yang lain