Bagikan artikel ini :

7 Covenants

Mazmur 81 berisikan peringatan agar umat TUHAN tidak melakukan pelanggaran perjanjian yang telah Ia adakan dengan umat-Nya. Apa maksudnya?

“Perjanjian” (Inggris: Covenant) adalah salah satu kata yang paling sering dikumandangkan dalam Alkitab. Seluruh sejarah keselamatan dinaungi oleh tema perjanjian antara TUHAN dan umat-Nya. Namun, jangan membayangkan perjanjian dalam Alkitab seperti perjanjian di masa modern. Kalau Anda mengadakan kesepakatan dengan seseorang, Anda akan pergi ke pihak ketiga, misalnya notaris. Anda kemudian membeli materai dan membubuhkan tanda tangan pada secarik kertas. Jika Anda gagal melanggar kesepakatan tersebut, Anda harus membayar denda atau Anda akan dituntut ke pengadilan.

Di dunia dimana kitab-kitab Perjanjian Lama ditulis, Anda tidak datang kepada notaris. Anda datang kepada dewa-dewa. Dengan disaksikan banyak pihak, Anda akan bersumpah atas nama dewa yang Anda sembah bahwa jika Anda mengingkari perjanjian tersebut, hukuman dewa tersebut akan menimpa Anda. Seorang yang bersumpah atas nama dewanya tetapi melanggar perjanjian tersebut dianggap menajiskan nama dewanya. Dalam kemarahannya, dewa tersebut akan menghukumnya. Keseriusan ini sangat kontras dengan penandatanganan di atas secarik kertas di ruang notaris. Tidak heran manusia modern sangat mudah ingkar janji.

Ada banyak tipe perjanjian di dalam dunia Timur Tengah Kuno, salah satunya adalah apa yang disebut sebagai Suzerain-Vassal Treaty. Perjanjian ini diadakan oleh raja dari negara yang lebih kuat (disebut suzeranus) dengan raja dari negara yang lebih kecil (disebut vassal). Sang suzeranus berjanji akan melindungi negara yang lemah, sementara sang vassal berjanji setia mendukung negara sang suzeranus, misalnya melalui pembayaran upeti. Suzerain-Vassal Treaty seringkali diadakan seusai seorang suzeranus menyelamatkan sebuah negara dari jajahan musuh. Itulah sebabnya dalam dokumen-dokumen Suzerain-Vassal Treaty terdapat bagian yang menceritakan kebaikan-kebaikan masa lalu sang suzeranus terhadap negara kecil tersebut. Bahkan kata “kasih” sering digunakan untuk menjelaskan hubungan sang suzeranus dan para vassalnya.

Ahli biblika sepakat bahwa TUHAN menggunakan gambaran yang sama. Ia adalah Sang Suzeranus dan manusia adalah para vassalnya. Kitab Ulangan, misalnya, mengikuti struktur dokumen Suzerain-Vassal Treaty. Ada bagian perkenalan dari sang suzeranus (“Akulah TUHAN, Allahmu,” Ul. 5:6a), pembacaan sejarah (“yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan,” 5:6b), perintah (7-21), pemberitahuan mengenai dimana dokumen perjanjian disimpan (10:5), saksi mata perjanjian (32:1), pembacaan berkat dan kutuk (27:11-29:1). Kata “kasih” juga menjadi poin penting di dalam perjanjian ilahi. Oleh sebab itu perintah yang paling utama adalah, “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (6:5). Sayangnya, sama seperti zaman modern, kasih seringkali dipolitisasi. Tidak peduli betapapun puitisnya, kata “kasih” yang digunakan di dalam dokumen-dokumen perjanjian bangsa-bangsa lain tidak lebih dari sekedar loyalitas dan penundukan, tidak kurang dan tidak lebih. Namun, kasih yang TUHAN dambakan dari umat-Nya adalah kasih yang memberi diri, sebagaimana Ia memberikan diri-Nya kepada umat-Nya dengan cara mengikatkan diri-Nya dalam perjanjian.

Di dalam sepanjang Alkitab, TUHAN mengadakan tujuh perjanjian. Perjanjian pertama adalah perjanjian dengan Adam. Para teolog biasanya memberi nama perjanjian pertama ini “Perjanjian Kerja” (Covenant of Works) atau “Perjanjian Penciptaan” (Covenant of Creation) karena diadakan sesudah penciptaan sebelum manusia jatuh dalam dosa. Perintah umum di dalam perjanjian ini adalah untuk manusia bekerja (Kej. 2:15), beranak cucu (1:28), dan memelihara Sabat (2:2-3). Perintah khususnya adalah untuk tidak makan buah pengetahuan yang baik dan jahat (2:16-17). Cukup mudah, tetapi kenyataannya manusia gagal.

Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, TUHAN tidak serta-merta meninggalkan mereka. Ia tetap mengikatkan diri-Nya dalam perjanjian dengan mereka. Oleh sebab itulah keenam perjanjian sisanya

dikategorikan sebagai “Perjanjian Anugerah” (Covenant of Grace) karena diberikan berdasarkan anugerah-Nya semata yang akan menyelamatkan manusia dari dosa. Sekali lagi TUHAN mengadakan perjanjian dengan Adam. Ia berjanji bahwa Ia akan mengalahkan Iblis melalui keturunan perempuan (3:15). Perjanjian kedua ini memulai sejarah keselamatan sehingga para teolog menamakannya “Perjanjian Permulaan” (Covenant of Commencement).

Namun manusia bukannya membaik, tetapi malah makin buruk. Dimulai dari pembunuhan Habel sampai kebobrokan dalam Kejadian 6:1-5, TUHAN akhirnya menghapuskan manusia dengan air bah. Namun sesudah Ia menyelamatkan Nuh, Ia masih di dalam anugerah-Nya berjanji bahwa Ia tidak akan lagi memusnahkan manusia dengan air bah (9:9-11). TUHAN juga menghendaki agar segala ciptaan, baik hewan maupun manusia, tidak membunuh manusia. Karena perjanjian ketiga ini berkaitan dengan pemeliharaan nyawa manusia, para teolog menamakannya “Perjanjian Pemeliharaan” (Covenant of Preservation).

Ketiga perjanjian yang paling awal adalah perjanjian yang cakupannya luas. Tidak hanya atas seluruh manusia tetapi juga seluruh ciptaan. Namun TUHAN menghendaki bahwa anugerah keselamatan-Nya tidak terjadi serta-merta, melainkan melalui satu bangsa, yakni keturunan Abraham. Kita tidak akan bisa mengerti mengapa TUHAN memilih Abraham dan keturunannya, selain karena anugerah semata. TUHAN berjanji Abraham akan memiliki banyak keturunan (Kej. 15:1-6) meski ia dan istrinya mandul, dan memberi keturunannya tanah (15:7-21) meski ia hidup nomaden sesudah meninggalkan kampung halamannya. Para teolog menyebut perjanjian keempat ini “Perjanjian Janji” (Covenant of Promise). Mulai dari perjanjian keempat dan seterusnya, perjanjian TUHAN difokuskan kepada umat-Nya saja. Meski demikian, perjanjian TUHAN tidak berhenti pada umat saja (dalam hal ini keturunan Abraham), melainkan supaya “olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (12:3).

Keluarga Abraham pun bertambah besar dan TUHAN sekali lagi mengadakan perjanjian dengan mereka dengan diwakili Musa di Gunung Sinai (Kel. 19:5-8). Ia menjadikan mereka umat kesayangan-Nya! Sebagai bukti, TUHAN memberikan mereka Taurat, oleh karena itulah perjanjian kelima ini disebut “Perjanjian Hukum” (Covenant of Law). Di masa modern, pemberian hukum dianggap seolah TUHAN mengatakan, "kalau kamu bisa menuruti semua hukum ini, baru kamu bisa diselamatkan!" Ini tidak benar. TUHAN telah menyelamatkan mereka dari Mesir dan membawa mereka kepada-Nya, bahkan sebelum mereka sanggup mentaati Taurat. Pemberian hukum adalah anugerah TUHAN karena TUHAN ingin umat tahu bagaimana caranya hidup bersama-Nya.

Waktu berlalu dan kini keluarga Abraham menjadi sebuah kerajaan. TUHAN pun mengadakan perjanjian dengan keluarga Daud bahwa tahta kerajaannya akan kokoh selama-lamanya (2 Sam 7). Karena berkenaan dengan kerajaan, perjanjian keenam dinamakan “Perjanjian Kerajaan” (Covenant of Kingdom)

Namun, kita tahu bahwa keluarga Abraham tidak setia pada perjanjian TUHAN. Sama seperti yang dilakukan Adam, bangsa Israel mengingkari ketiga perjanjian tersebut. Mereka hidup berdosa di hadapan TUHAN, tidak menjaga hukum-hukum-Nya, bahkan banyak raja jahat lahir dari keturunan Daud. Tetapi TUHAN yang setia menyampaikan janji-Nya melalui Nabi Yehezkiel bahwa Ia sendiri yang akan memperbaharui ketiga perjanjian tersebut (Yeh. 37:24-25). Kapan ini digenapi?

Dalam perjamuan terakhir, Tuhan Yesus mengatakan, “cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku” (Luk. 22:19). Inilah perjanjian ketujuh dan yang terakhir. Kini tidak hanya keturunan Abraham secara fisik, melainkan seluruh bangsa diundang untuk masuk ke dalam perjanjian TUHAN. Yesus Kristus adalah Raja kita yang kekal dari keturunan Daud, menggenapi perjanjian dengan Daud. Ia memuaskan seluruh tuntutan Taurat dan memberikan kita perintah yang baru, menggenapi perjanjian dengan Musa. Oleh kematian-Nya Ia menyelamatkan kita dan dengan demikian menjadi berkat bagi segala bangsa, menggenapi perjanjian dengan Abraham. Karena sifatnya memperbaharui perjanjian yang telah diingkari, para teolog menamakan perjanjian ini “Perjanjian Baru” (New Covenant).

Setiap lembaran Alkitab merupakan kesaksian akan kesetiaan TUHAN. Maukah kita pun setia kepada-Nya? *  [DO]