Bagikan artikel ini :

Allah transendental dan imanen dalam inkarnasi Yesus Kristus

Di hari Natal ini kembali kita disapa oleh doktrin inkarnasi yang cukup rumit, yang diwarnai oleh berbagai nuansa pemahaman yang dipengaruhi oleh ideologi paganisme, diantaranya Deisme. Deisme mengajarkan doktrin providensi (pemeliharaan) Allah yang memisahkan Allah Pencipta dari makhluk ciptaan-Nya. Deisme percaya setelah Allah Pencipta selesai menciptakan segala sesuatunya, Dia masuk di dalam fase dorman (tidak aktif), yang mana Dia tidak lagi mengintervensi hidup makhluk ciptaan-Nya. Makhluk ciptaan hidup dan berfungsi sebagaimana mereka ada sesuai dengan kapasitas yang mereka terima pada saat penciptaan. Penganjur Deisme secara parsial maupun total di zaman kuno seperti Aristotle, Epictetus, Cicero, Seneca, dan kaum Saduki, ataupun penganjur di zaman modern seperti para Remonstran, Socinian, Rationalists, Kierkergaardian, Barthian, dlsb. percaya bahwa Allah atau para alah mengurusi hanya hal-hal yang besar dan mengabaikan hal-hal yang kecil. Sebagian orang Kristen juga percaya bahwa Allah yang transendental baru menjadi imanen di dalam inkarnasi-Nya.

Untuk sekian lamanya sejak manusia jatuh ke dalam dosa, Allah berada di dalam masa dorman hingga suatu ketika Allah seakan tersadar akan kondisi makhluk ciptaan-Nya yang memprihatinkan dan mulai melakukan tindakan inovatif berinkarnasi. Sudah jelas pemahaman ini keliru, karena tidak pernah sedetik pun Allah tidak hadir di tengah dunia ciptaan-Nya. Ketika Adam dan Hawa jatuh di dalam dosa, ada dua fenomena yang menandakan providensi Allah yang imanen: pertama, keberadaan mereka yang diliputi oleh rasa takut, rasa bersalah, dan rasa malu, merupakan bukti providensi Allah melalui wahyu-Nya tentang identitas Diri-Nya, yang Dia tanamkan di dalam hati nurani manusia. Setiap manusia sebagai makhluk moral memiliki kapasitas indera keagamaan (sensus divinitatis) untuk mengetahui bahwa Allah adalah Sumber Hukum Moral yang menuntut pertanggungjawaban atas setiap perbuatan moral mereka, dan bahwa pelanggaran terhadap hukum Allah akan berakibat pada sanksi yang harus mereka tanggung. Kedua, di dalam keadaan mereka yang terasing dan terpisah dari Allah, Allah datang dan memanggil Adam dan Hawa untuk memberikan mereka kesempatan untuk kembali kepada-Nya dan meresponi-Nya dengan positif.

Di dalam konteks providensi Allah yang transendental dan imanen, kita akan menyoroti dua teks dari Matius 1:18-25, yang dilatarbelakangi oleh Yesaya 7:14. Menarik sekali bahwa dalam perikop ini ada dua nama yang diberikan kepada Kristus: Pertama, Yesus (Yunani), yang berasal dari akar kata Ibrani yang tersirat di dalam nama Joshua, yang artinya Alllah YHWH menyelamatkan, atau Allah YHWH adalah Penyelamat. Yesus, anak dara Maria yang dikandung oleh

Roh Kudus akan bertindak sebagai Allah ynag menyelamatkan umat-Nya. Kedua, Immanuel, yang artinya Allah beserta kita, yang mengekspresikan komitmen Allah untuk tidak meninggalkan makhluk ciptaan-Nya yang telah menghina, memberontak, dan kini menderita sanksi akibat pemberontakan mereka. Tidak kalah menarik juga bahwa Matius 1:23 memakai konsep tanda dari Yesaya 7:14 dari versi LXX (Septuagint), yakni terjemahan Kitab PL dalam bahasa Yunani oleh 70 cendekiawan Yahudi di abad 3-2 BCE. Versi tersebut berbeda dari versi aslinya dalam bahasa Ibrani. Dalam versi Ibrani tertera, 'Mereka akan menamakan dia,' sedangkan versi LXX tertera 'engkau akan menamakan dia,' Dan lagi, versi Ibrani berbicara tentang 'anak perempuan muda' (ha almah), sedangkan versi LXX berbicara tentang 'anak dara.' Selanjutnya, versi Ibrani juga berbicara tentang tanda, yang mengacu pada sesuatu yang supernatural, namun jelas bukan seorang anak dara yang melahirkan (virgin birth). Dikatakan bahwa seorang anak lelaki akan dilahirkan, dan pada masa kanak-kanaknya akan datang intervensi Allah yang membawa perubahan yang radikal dalam dunia sosial-politik internasional, sehingga bahaya yang mengancam umat Allah dapat disingkirkan. Matius melihat adanya paralelisme antara intervensi Allah untuk menyelamatkan umat-Nya di dalam sejarah bangsa Israel dan intervensi Allah untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka melalui pribadi Yesus Kristus.

Berangkat dari keyakinan ini, Matius berhasil mendapatkan dukungan bagi argumennya dari kitab Yesaya terjemahan LXX. Karena terjemahan LXX kurang tepat kutipan Matius-pun kurang tepat. Kendati pun demikian, hal tersebut tidak dapat menganulir kebenaran fenomena yang unik kelahiran manusia-Allah Yesus Kristus dari anak dara Maria, dan sekalipun tidak lazim bagi Gereja mula-mula untuk mengkhotbahkan kebenaran fenomena ini, Matius tetap mengkhotbahkannya melalui tulisannya. Pesannya gamblang: Kelahiran Yesus, anak dara Maria, adalah tanda yang mengantisipasi titik balik yang radikal bagi umat kepunyaan Allah, karena di dalam Yesus Kristus Allah bertindak untuk menyelamatkan mereka dari dosa mereka, baik dosa asal maupun dosa perbuatan, yang telah mengkhamiri seluruh dunia ciptaan Allah. Sudah barang tentu intervensi Allah ini bukanlah ide sesaat belaka, melainkan rencana Allah yang sempurna sebelum dunia dijadikan, di mana Allah yang transendental dan imanen merealisasikan rencana-Nya melalui penggenapan janji-Nya kepada Adam dan Hawa, dan kepada Abraham beserta dengan keturunannya-bangsa Israel. Di dalam Kristus Yesus segala janji Allah digenapi:dunia yg terkutuk dipulihkan, manusia keturunan pemberontak dipulihkan sehingga boleh meresponi Alllah dengan positif, dan kemuliaan Allah Pencipta sebagai Raja atas dunia ciptaan-Nya juga dipulihkan (1 Cor. 15:28) *** (IT)