Bagikan artikel ini :

Bahagia = Lari dari Penderitaan?

Lennon, seorang musisi terkenal dan anggota dari grup band lawas The Beatles, pernah mengatakan, “When I was 5 years old, my mother always told me that happiness was the key to life. When I went to school, they asked me what I wanted to be when I grew up. I wrote down ‘happy’. They told me I didn’t understand the assignment, and I told them they didn’t understand life.” (“Ketika aku berusia 5 tahun, ibuku selalu mengatakan kepadaku bahwa kebahagiaan adalah kunci kehidupan. Ketika aku pergi ke sekolah, mereka bertanya aku ingin menjadi apa ketika dewasa nanti. Aku menulis ‘bahagia’. Mereka mengatakan kepadaku bahwa aku tidak mengerti tugas tersebut, dan aku mengatakan kepada mereka bahwa mereka tidak mengerti kehidupan”).

Bagaimana tanggapan Anda tentang kisah ini? Anda mungkin tersenyum ketika membaca balasan cerdik dari John Lennon. Namun, beberapa dari Anda mengkritisi kisah ini. Sebagian Anda akan mengatakan bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan utama kehidupan. Beberapa yang lain dari Anda akan mengatakan bahwa makin kita mencari kebahagiaan, makin kebahagian itu tidak akan didapatkan. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan seorang Rabi Yahudi Harold S. Kushner, “you don’t become happy by pursuing happiness. You become happy by living a life that means something.” (“Kamu tidak menjadi bahagia dengan cara mengejar kebahagian. Kamu menjadi bahagia dengan cara menghidupi kehidupan yang bermakna”).

Makna hidup. Itulah krisis masa kini. Paul Tillich—ketika merefleksikan sejarah pemahaman tentang soteriologi atau doktrin keselamatan—mengatakan bahwa pada masa kuno, kematian adalah masalahnya; pada abad pertengahan dan Reformasi, dosa adalah masalahnya; pada zaman modern ini, krisis akan makna adalah permasalahannya. Justru di masa modern, ketika makna hidup semua orang adalah mengejar kebahagiaan, kehidupan itu malah kehilangan makna.

Jordan Peterson, seorang psikolog Kanada, memberikan penjelasan mengapa hal ini terjadi. Ia mengungkapkan bahwa ketika seseorang mengatakan bahwa ia ingin bahagia, yang sebenarnya diinginkannya bukanlah kebahagiaan itu sendiri melainkan menghindari penderitaan. Menurutnya, kebahagiaan (‘happiness’) dan ketiadaan penderitaan (‘absence of suffering’) adalah dua hal yang berbeda. Kembali ke perkataan Rabi Harold Kushner, kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan menjalani hidup yang bermakna. Tetapi, apakah hidup yang bermakna itu? Jordan Peterson mengatakan, “the purpose of life, as far as I can tell… is to find a mode of being that’s so meaningful that the fact that life is suffering is no longer relevant.” (“Tujuan dari hidup ini, sejauh yang bisa saya katakan… adalah untuk menemukan suatu cara hidup yang begitu bermakna sehingga fakta bahwa hidup ini adalah penderitaan tidak lagi relevan”).

Hal yang serupa diungkapkan oleh Paulus dalam Roma 5:3-5. Bedanya hanyalah, manakala Jordan Peterson serta Rabi Harold Kushner menggunakan terminologi-terminologi sekuler, Paulus menjelaskannya dalam kerangka Injil. Lebih jauh lagi, Paulus malah mengatakan bahwa penderitaan adalah apa yang pada akhirnya akan menghasilkan pengharapan!

Tapi, apakah ini berarti Paulus hanya sekedar berkata-kata seperti seorang motivator yang menyemangati pendengarnya untuk tetap gigih dan tidak menyerah? Tentu tidak! Ataukah Paulus adalah seorang asketis yang justru menyuruh pendengarnya untuk cari-cari penderitaan? Tidak juga! Untuk makin mengerti kerangka Injil yang menjadi landasan berpikir Paulus, mau tidak mau kita harus membaca ayat-ayat selanjutnya, yakni ayat 6-8. Paulus mendasari pemahamannya tentang penderitaan bukan dari filsafat-filsafat sekuler, melainkan di dalam penderitaan Tuhan Yesus di kayu salib.

Apakah Anda sadar bahwa simbol dari Kekristenan adalah simbol penderitaan tertinggi dan kisah paling tragis dalam kehidupan manusia? Jordan Peterson sendiri mengatakannya di dalam sebuah wawancara, “you cannot write a more tragic story. It's impossible. Because it's a story of the aggregation of everything that people are afraid of.” (“Anda tidak dapat menulis kisah yang lebih tragis dari ini. Mustahil. Karena ini adalah kisah mengenai penggabungan segala hal yang ditakuti manusia”). Bayangkan apa yang dialami Tuhan Yesus:

  • Penyaliban adalah cara mati yang paling lambat dan menyakitkan, dimana tubuh korban dibuat sedemikian rupa hingga kehabisan napas, dehidrasi, dan lain sebagainya. Sejak semula, Tuhan Yesus tahu bahwa salib itu telah menanti-Nya.
  • Penyaliban itu diawali dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh sahabat-Nya sendiri.
  • Orang-orang sebangsanya melawan-Nya dan menyerahkannya kepada seorang tiran dari Romawi yang tunduk kepada kebenaran.
  • Ia sepenuhnya tidak bersalah, dan Ia tahu itu. Ia bahkan tahu bahwa semua orang tahu bahwa tidak hanya Ia tidak bersalah, tetapi seluruh hidupnya hanya melakukan kebaikan. Namun, di depan mata-Nya sendiri, ia menyaksikan mereka memilih seorang kriminal untuk dilepaskan dari hukuman mengerikan ini daripada diri-Nya, semata-mata hanya karena mereka menuruti hasutan pemimpin-pemimpin agama yang iri kepada-Nya.

Kematian yang paling mengerikan, pengkhianatan, dan ketidakadilan karena kebobrokan moral orang lain. Inilah tiga bentuk penderitaan yang paling ditakuti manusia. Semua ini pantas menimpa seorang pelaku kriminal yang tidak terampuni. Akan tetapi, Tuhan Yesus, yang seumur hidup-Nya hanya melakukan kebaikan? Inilah sebabnya Jordan Peterson mengatakan bahwa penyaliban adalah kisah yang paling tragis: penderitaan yang paling mengerikan dipertemukan dengan Pribadi yang paling tidak bersalah, yang paling tidak pantas untuk menanggungnya.

Namun, apakah yang lahir dari penderitaan itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah keselamatan kita semua! Ketika Sang Pribadi yang paling tidak pantas untuk disentuh seujung kuku pun oleh penderitaan, dengan rela membiarkan penderitaan seluruh dunia menimpa, melingkupi, bahkan menghujam Diri-Nya, saat itulah makna yang tertinggi tercapai, yakni keselamatan seluruh dunia. Dari makna inilah ditemukan kebahagian sejati. Seperti perkataan penulis Ibrani mengenai Tuhan Yesus "yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah" (Ibr. 12:2).

Jadi, kebahagiaan—atau, menggunakan terminologi Alkitab, sukacita—bukan diperoleh dengan cara melarikan diri dari penderitaan. Sebaliknya, kebahagian diperoleh ketika seseorang dengan gagah berani dan rela menyongsong penderitaan tersebut. Mengapa? Karena kebahagiaan dengan cara melarikan diri bersifat egois untuk diri sendiri. Sementara ketika seseorang dengan rela berkorban dan menderita demi orang lain, saat itulah makna kehidupan yang penuh penderitaan ini ditemukan, dan dari makna itulah lahir sukacita.

Teladan Tuhan Yesus inilah yang kemudian diamalkan oleh Paulus. Ia melihat bagaimana Tuhan Yesus bersedia memikul salib yang paling berat, yakni penderitaan untuk keselamatan seluruh manusia. Jadi, kini Paulus pun memikul salibnya agar orang-orang dapat mendengar kabar sukacita ini. Itulah yang dituturkannya dalam 2 Korintus 3:3-11. Ketika ia melihat buah penderitaannya, yakni jiwa-jiwa di Korintus yang datang kepada Tuhan, ia bersukacita.

Jadi, kembali ke pertanyaan awal, yakni pertanyaan yang diajukan guru John Lennon kepadanya: kita ingin kehidupan yang seperti apa? Yang pasti, jawabannya bukanlah, “kehidupan yang berbahagia.” Nampaknya John Lennon pun tidak mengerti kehidupan, nyata dari KDRT yang dilakukannya kepada istrinya, perselingkuhannya, anak yang diabaikannya, penganiayaan yang dilakukannya kepada seroang rekan dalam keadaan mabuk, serta segala kemunafikannya: Lagunya Imagine mempromosikan kehidupan tanpa kepemilikan, namun ia hidup dalam kemewahan dan kegelimangan harta. Ia menyerukan damai tetapi sering melakukan kekerasan. Di generasi-generasi selanjutnya, namanya dan The Beatles telah dilupakan. Ironis sekali bahwa ia pernah berujar bahwa The Beatles lebih terkenal dari Tuhan Yesus.

Jadi, apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan di atas? Jawabannya adalah “kehidupan yang bermakna” bagi Tuhan dan sesama kita. Caranya bukanlah dengan lari dari penderitaan, tetapi justru dengan meneladani Tuhan Yesus yang menyongsong penderitaan itu dengan rela dan gagah berani, seperti yang juga dilakukan Paulus demi orang-orang Korintus. Pertanyaannya, maukah kita?*(DBO)