Bagikan artikel ini :

Berhakkah Allah Menyudutkan Umat-Nya?

Pendahuluan

Rubrik kita kali ini cukup menarik, karena akan membahas satu pertanyaan: Apakah Allah berhak untuk menuntun umat yang dikasihi-Nya masuk ke dalam kesulitan yang besar, dan bahkan menyudutkan mereka sampai ke titik nadir? Jika ya, bukankah hal ini mencoreng reputasi-Nya yang penuh belas kasihan dan peduli pada kesejahteraan umat-Nya? Jika tidak, apakah Allah bukan lagi Penguasa dunia ciptakan-Nya? Jika memang segala sesuatu terjadi atas izin Allah, apakah Allah enggan dan secara pasif atau terpaksa mengizinkan hal yang buruk untuk terjadi pada umat-Nya? Apakah sebenarnya kehendak dan cara kerja Allah, dalam kaitannya dengan kehidupan umat-Nya?

Untuk menjawab hal ini, marilah kita mencermati sejarah bangsa Israel, khususnya dalam pengalaman mereka menyeberangi Laut Teberau di Keluaran 14, serta memetik prinsip-prinsip yang berharga tentang jati diri dan cara kerja Allah yang kita percayai.

Rancangan Allah yang menakjubkan!

Mari kita bertanya apakah asal muasalnya sehingga bangsa Israel bisa tiba di Tanah Mesir dan diperbudak bangsa Mesir? Ketika kita menelusuri sejarahnya, ternyata mereka terpaksa harus datang ke Tanah Mesir karena bencana kelaparan yang besar di Tanah Kanaan, dan pada saat itu satu-satunya bangsa yang punya cadangan makanan yang berlimpah hanyalah bangsa Mesir. Cadangan yang berlimpah ini mereka miliki karena jasa Yusuf, yang dengan hikmat yang diberikan Allah Israel mengumpulkan hasil panen selama tujuh tahun.

Awalnya saudara-saudara Yusuf, karena iri hati kepada Yusuf yang mendapat perlakukan istimewa dari ayah mereka yaitu Yakub, menjual Yusuf kepada bangsa Mesir. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Yusuf telah dipersiapkan Allah untuk mendahului mereka ke Tanah Mesir untuk menyelamatkan hidup mereka, yakni cikal bangsa Israel, dari bahaya kelaparan. Yusuf membukakan kepada saudara-saudara-nya: “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi…” (Kel. 50:20). Dengan perkataan lain, pada satu level, rancangan saudara-saudara Yusuf adalah untuk mencelakai Yusuf, namun pada level yang lebih tinggi, rancangan Allah mengubah rancangan manusia yang jahat menjadi rancangan yang baik. Lagipula, jika kita teliti lagi, ternyata dilevel yang lebih tinggi itu ada rancangan Allah yang menetapkan bahwa bangsa Israel memang akan berada di negeri asing selama 400 tahun lamanya, (Kej. 15:13). Sehingga pada akhirnya kita menyadari bahwa semua peristiwa di dunia ini tidak terlepas dari jejaring rancangan besar Allah yang berlapis-lapis dari segala abad! Segala sesuatu yang Allah rancangkan tidak akan pernah gagal, pasti mencapai setiap maksud tujuan yang diperintah-Nya (Yes. 55:11). Namun, apakah rancangan Allah terhadap umat-Nya pasti segala yang baik, seperti apa yang sering dikutip dari Yeremia 29:11? Di ayat ini dikatakan: “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan yang yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan”. Titik permasalahannya adalah: siapakah kamu yang kepadanya Allah berjanji? Ternyata kamu pada ayat ini ditujukan secara spesifik kepada bangsa Yehuda yang segera akan dibuang ke negeri Babilonia karena telah berlaku tidak setia terhadap Allah, dan Allah menyuruh mereka untuk tidak memberontak karena masa pembuangan mereka akan berlangsung 70 tahun. Setelah itu mereka akan pulang lagi ke tanah air mereka, karena Allah memiliki rancangan Allah yang penuh harapan bagi mereka. Menarik sekali di sini bahwa rancangan damai sejahtera Allah yang penuh harapan ini melibatkan masa pembuangan yang sudah pasti sangat tidak nyaman selama 70 tahun! Mari kita meneliti peristiwa menarik yang secara jelas memaparkan tentang rancangan Allah bagi bangsa Israel yang baru saja keluar dari Tanah Mesir.

Kondisi terjepit umat Allah

Di malam exodus itu, bangsa Israel yang baru saja membuat komitmen untuk mengabdi kepada Allah segera pergi dengan sangat tergesa-gesa dari tanah perbudakan di Mesir. Mereka membawa harta karun bangsa Mesir yang sangat banyak. Dipimpin oleh Musa, mereka mengikuti tiang awan dan tiang api yang Allah sediakan sehingga mereka dapat berjalan di pagi hari maupun di malam hari, sesuai dengan perintah Allah. Setelah melalui jalan memutar untuk menghindari teritori bangsa Filistin yang jauh lebih kuat, bangsa Israel, Allah menuntun mereka untuk berkemah di lembah Pi-Hahirot, di antara Migdol dan Laut Teberau, tepat di depan Baal-Zefon. Mengapa lembah Pi-Hahirot? Karena di situlah bangsa Israel terkunci dan tidak ada jalan keluar! Di depan terhampar Laut Teberau yang luas, dan di sekitar terdapat gunung-gunung yang mengelilingi. Jika tentara dari bangsa Mesir mengejar dari belakang pastilah mereka mati kutu! Dan benar saja, itulah hal yang terjadi. Tuhan dengan sengaja menuntun mereka untuk masuk ke lembah itu agar di titik mereka benar-benar tersudut, mereka akan menengadah kepada-Nya dan hanya mengandalkan-Nya saja. Tujuan Allah berlapis empat sangat jelas: (1) Allah akan membuat Raja Firaun berpikir bahwa bangsa Israel telah tersesat. (2) Allah akan mengeraskan hati (membiarkan hati yang keras) Raja Firaun agar mengejar bangsa Israel; (3) Allah akan menyatakan kemuliaan terhadap raja Firaun dan pasukannya; dan (4) Allah akan membuat bangsa Mesir tahu bahwa Dialah Tuhan (v. 4). Mungkin kita agak sedikit terkejut bahwa ternyata Tuhan sangat concern dengan kemuliaan-Nya. Ternyata bukan manusia dan umat-Nya yang menjadi tujuan primer-Nya, melainkan kepentingan-Nya. Sekilas memang hal ini merupakan hal yang janggal, namun jika Allah lebih concern dengan kemuliaan manusia ciptaan-Nya ketimbang kemuliaan-Nya sendiri, ini lebih janggal lagi, karena Allah telah kehilangan jati diri-Nya.

Penyudutan Allah dan Reaksi Bangsa Israel

Ketika bangsa Israel melihat 600 pasukan kereta kuda Mesir dengan tentara yang bersenjata lengkap, bangsa Israel yang tidak pernah belajar berperang benar-benar panik dan ketakutan. Mereka tidak saja berseru-seru kepada Allah tetapi juga marah-marah terhadap Musa yang telah berhasil membodohi mereka keluar dari Tanah Mesir, padahal bagi mereka adalah lebih baik mati sebagai budak di Tanah Mesir daripada mati konyol terbunuh di padang gurun! Iman mereka yang baru saja tumbuh berkembang segera kandas tak berbekas, habis ludes menguap begitu saja diterpa himpitan yang begitu besar. Mereka tidak habis berpikir, mengapa Allah yang begitu peduli terhaap kesengsaraan mereka kini diam saja, padahal Dia mampu menolong mereka. Mereka belum tahu bahwa sebenarnya memang Allahlah yang secara aktif merancang sikon terhimpit ini untuk kemuliaan-Nya. Padahal, memang Allah tidak berlambat-lambat untuk mempertumbuhkan iman mereka, dan pelajaran pertama untuk maksud ini adalah membuat mereka terpojok, sehingga mereka keluar dari comfort zone mereka dan mulai serius mengandalkan Allah semata.

Di dalam sikon panik itu, Allah memberikan tiga tips singkat melalui Musa: Pertama, jangan takut, artinya arahkan fokus perhatian bukan lagi pada diri sendiri, melainkan kepada sesuatu yang lain, yaitu kepada-Nya. Kedua, berdiri tetap, artinya jangan bertindak apa-apa dan berlagak pintar. Tetap tenang pada posisi semula. Ketiga, “lihatlah keselamatan dari Tuhan yang akan diberikani… Tuhan akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja” (Kel. 14:13-14), artinya show-time dari Allah telah tiba dan yang perlu mereka lakukan adalah menyaksikan Allah beraksi, karena protagonist (aktor utama) dalam sejarah manusia adalah Allah sendiri. Allah akan menunjukkan kepada semua makhluk ciptaan-Nya bahwa Dia-lah Allah Penguasa dunia ciptaan-Nya.

Namun Allah tetap melibatkan manusia di dalam karya-Nya. Ketika Musa mengangkat tongkatnya ke atas laut, Allah mengerahkan angin dari timur yang bertiup semalam-malaman, sehingga menguakkan air laut Teberau dan membuat koridor tanah kering di tengah air laut yang menjadi tembok di kiri kanan koridor itu. Sudah dapat dipastikan bahwa hati bangsa Israel itu ketar-ketir berjalan di tengah laut dengan tembok air di kanan dan kiri mereka. Pada momen itulah maka iman mereka bertumbuh karena mengalami sendiri Allah yang menyatakan kemuliaan-Nya. Mata mereka juga diliputi oleh ketakjuban berikutnya ketika pada jaga pagi mereka melihat Musa sekali mengacungkan tongkatnya, dan tembok dari air laut itu runtuh serta menenggelamkan seluruh pasukan Mesir yang sedang mengejar mereka. Pada hari itu bangsa Mesir benar-benar mengalami bahwa Allah Israel-lah yang sedang berperang melawan mereka, dan Dia-lah Allah yang sesungguhnya.

Dari peristiwa ini kita melihat bahwa dalam segala perkara Allah bekerja untuk mencapai tujuan-Nya yg majemuk. Pada saat kemuliaan-Nya, dinyatakan, secara simulan tujuan sekunder dan tersier lainnya-pun tercapai. Tidak saja ancaman bangsa Mesir diluluhkan karena mengetahui Dialah Allah yang sedang berperang melawan mereka, iman bangsa Israel pun dikukuhkan karena mengetahui Allah Musa bukanlah Allah yang bisa mereka kontrol, persuasi, dan tenangkan dengan persembahan tertentu, seperti alalh-allah Mesir. Dia sama sekali berbeda, karena Dialah satu-satunya Allah Pencipta segala yang ada dan satu-satunya yang patut disembah. Hal ini mengingatkan kita akan sabda Firman Tuhan melalui nabi Yesaya: “Aku ini Tuhan, itulah nama-Ku; Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain” (Yes. 42:8).

Allah gadungan kecil yang digandrungi

Di abad ke-21 ini ada suatu gerakan gereja Injili yang sering dijuliki sebagai faith movement yang mengajarkan bahwa Allah yang sejati adalah Allah yang setia, penuh belas kasihan, dan anugerah. Obsesi Allah yang terbesar adalah kesejahteraan manusia ciptaan-Nya, dan sudah pasti bukan kemuliaan-Nya sendiri. Allah tidak mungkin melawan jati diri-Nya secara aktif merancangkan sesuatu yang menyudutkan manusia. Allah yang ditawarkan ini tidak jauh berbeda dari dewi Guan-yim (dewi belas kasihan dalam kepercayaan rakyat orang Tionghoa) atau dewi Lakshmi (dewi yang mendatangkan keberuntungan, kemakmuran, dan kesejahteraan). Pasalnya, faith movement meyakini bahwa Allah selalu ingin agar umat-Nya sehat, sejahtera, dan makmur, baik secara jasmani dan rohani. Segala macam sakit penyakit, penderitaan, dan kemiskinan itu jelas bukan berasal dari Allah, dan karenanya harus diusir di dalam nama Tuhan Yesus. Orang Kristen adalah anak sang Raja dan berhak mendapatkan apa yang the best, bukan yang the second best. Jika seorang mengaku dirinya orang Kristen, namun hidupnya melarat dan menderita, maka imannya bermasalah dan patut dipertanyakan. Anak Raja seharusnya dengan iman mengklaim semua janji Allah, baik berkat jasmani dan rohani yang Allah berikan. Dengan tidak ditutup-tutupi lagi, memang faith movement ini adalah penganjur sejati Injil Kemakmuran (the gospel of prosperity) !

Mari kita simak perkataan dari Tuhan Yesus pada malam di mana Dia dikhianati dan para murid tercerai-berai dan meninggalkan Dia seorang diri: “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” (Yoh. 16:33). Tuhan Yesus meyakinkan para murid bahwa penderitaan dan penganiayaan adalah bagian dari hidup pengikut Kristus, dan sama sekali bukan apa yang ditawarkan oleh Injil kemakmuran. Bandingkan lagi dengan kata ‘Bahagia’ dari khotbah Tuhan Yesus di atas bukit: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu didera dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacitalah dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikianlah juga telah dianyiaya nabi-nabi yang sebelum kamu” (Mat. 5:11-12). Tuhan Yesus dengan setia dan gigih menolak tiga kenyamanan, kesejahteraan, serta kemakmuran’ yang disodorkan iblis, dan memilih jalan salib. Dengan salib yang begitu hina itulah Dia mengalahkan dunia. Karena itulah jalan yang Allah pilihkan agar tujuan Allah yang primer tercapai: kemuliaan-Nya.

Penutup

Rasul Paulus menghibur umat Allah dengan perkatan ini, bahwa segala pencobaan yang kiata alami merupakan pencobaan yang biasa yang tidak melebihi kekuatan manusia. Allah tidak akan membiarkan kita melampaui kekuatan kita. Pada waktu kita dicobai Allah akan memberikan jalan ke luar, sehingga ktia dapat menanggungnya (1 Kor. 10:13).

Jikalau di dalam kehendak Allah kita menderita di dalam dunia ini, marilah kita dengarkan pesan Allah kepada bangsa Israel: Jangan takut, berdirilah tetap, lihatlah keselamatan dari Allah. Allah kita adalah Allah yang dahsyat yang tidak bisa kita kuasai. Biarlah kita percayakan hidup kita ke dalam rancangan-Nya yang agung. Amin. ** IT.

sejarah dunia akan terjadi sesuai dengan tujuan yang Allah tentukan.