Bagikan artikel ini :

Berkata Benar dalam Kasih (Speaking Truth in Love)

Pada bulan Oktober tahun 1998 Kongres Amerika Serikat secara resmi memulai proses tuduhan (impeachment) atas Presiden Bill Clinton, menyangkut kasus perzinahan dengan Monica Lewinsky. Sekalipun kasus ini dipicu oleh penyalahan hubungan seksual, namun tuduhan yang dilontarkan terhadap Clinton adalah ia berdusta di bawah sumpah (perjury). Ia mengaku tidak melakukan hubungan seks dengan Lewinsky. Dengan kata lain, Clinton dituduh bersalah oleh Kongres bukan karena pelanggaran hukum ke-7, jangan berzinah, tetapi pelanggaran hukum ke-9, jangan bersaksi dusta. Di mata hukum Amerika, ketika seseorang berzinah, ia membohongi pasangannya dan akan memikul konsekuensi atas keluarganya, tetapi ia tidak dapat dihukum karena berzinah. Sebaliknya berbohong di bawah sumpah ada konsekuensi hukum yang jelas. Dari kacamata Firman Allah baik perzinahan maupun bersumpah palsu tentu saja melanggar Hukum Allah. Namun contoh kasus di atas membukakan mata kita bahwa hukum ke-9 tidak lebih ringan dari hukum ke-7 dan hukum-hukum lainnya.

Dalam esai singkat ini saya akan mengupas beberapa makna yang terkandung dalam hukum ke-9, jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu (Kel.20:16). Secara khusus, bagaimana berkata benar sesuai dengan prinsip kasih.

Kebenaran adalah kudus

Pertama mari kita perlu melihat cakupun hukum ke-9. Hukum ke-9, jangan bersaksi dusta tentang sesamamu, pertama dalam arti larangan untuk bersaksi palsu dalam konteks peradilan. Bersaksi palsu, entah dalam arti melawan atau dalam arti untuk membela seseorang, tidak dibenarkan. Dengan kata lain, entahkah dengan niat jahat untuk menjatuhkan, ataukah dengan niat baik untuk menyelamatkan, saksi palsu tetaplah salah.

Tentu saja hukum ke-9 bukan saja berlaku dalam konteks peradilan tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari kita. Jangan berdusta berlaku bukan saja saat ada konsekuensi legal, tetapi juga saat tidak ada konsekuensi legal sekalipun. Alasan pertama, karena berdusta memiliki akibat melukai sesama. Hal in terjadi baik di dalam maupun di luar peradilan. Alasan kedua, dan yang terutama, adalah berdusta bertentangan dengan karakter Allah yang adalah kebenaran itu sendiri. Dalam hal inilah kebenaran adalah kudus.

Allah kita adalah Allah yang senantiasa memegang kebenaran dan menepati janji-janjiNya. Allah maha kuasa yang tidak dapat berdusta (Titus 1:2; Bil.23:19;1Sam.15:29), karena Ia tidak dapat bertentangan dengan naturNya yang benar. Sebaliknya Setan adalah pendusta dan bapa segala dusta. Allah yang menciptakan manusia serupa dan segambar dengan Allah sendiri menghendaki manusia menyerupai DiriNya dengan berpegang kepada kebenaran. Sebaliknya mereka yang berdusta bertindak menyerupai Setan dan telah menjadikan Setan sebagai bapa mereka (Yoh.8:44).

Bohong putih?

Apakah bohong putih diperbolehkan? Berbohong untuk tujuan yang baik? Corrie ten Boom menceritakan satu kisah tentang orang-orang Kristen di Belanda yang menyembunyikan orang-orang Yahudi di ruang bawah rumah mereka. Suatu hari tentara Nazi razia rumah Nollie dan bertanya di mana orang-orang Yahudi yang ia sembunyikan. Nollie, yang berkeyakinan bahwa orang Kristen tidak boleh berbohong, menjawab bahwa mereka ada di bawah meja. Tentara-tentara itu tertawa terbahak, menyangka Nollie hanya

bergurau, dan kemudian pergi. Nollie berkeyakinan Allah telah memelihara mereka karena kejujurannya.

Tidak semua orang beriman mengambil jalan seperti Nollie. Dalam Alkitab, misalnya, kita membaca bagaimana dua bidan, Sifra dan Pua, demi menyelamatkan bayi-bayi orang Israel, mereka berdusta kepada Firaun (Kel.1:15-22). Demikian juga dengan Rahab yang membohongi raja Yerikho demi untuk menyelamatkan dua mata-mata Israel (Yosua 2:1-24). Dan Tuhan sepertinya tidak mempermasalahkan dusta mereka dan bahkan memberkati mereka. Kedua bidan itu diberkati Allah sehingga mereka pun dapat berkeluarga (Kel.1:20-21). Demikian juga dengan Rahab, ia dipuji sebagai orang beriman (Ibr. 11:31) dan bahkan menjadi nenek moyang Sang Mesias (Mat.1:5).

Berkata benar dalam kasih (speaking truth in love)

Apakah bohong putih seperti ini dibenarkan? J.I. Packer dalam bukunya Keeping the Ten Commandment menjawab dengan prinsip kebenaran dan kasih. Kebenaran harus diungkapkan dalam kasih. Prinsip kebenaran berjalan sejajar dengan prinsip kasih. Paulus menegaskan bahwa orang percaya harus “teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih” (Ef.4:15).

Namun kasih bukan saja dalam arti menegur dengan lemah lembut (Gal.6:1), tetapi berkata-kata dengan hikmat, karena tidak semua layak menerima kebenaran. Yesus menasihati: “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu” (Mat.7:6). Ketika Raja Herodes mengadili Yesus, ia bertanya banyak pertanyaan, tetapi Yesus tidak memberi jawaban apapun, karena Herodes tidak layak dan tidak berhak menerima kebenaran dari mulut Yesus (Luk.23:8-9).

Packer menegaskan ada saatnya kebenaran perlu disembunyikan dari mereka yang tidak berhak atas kebenaran dari mulut kita – sebagai contoh, mereka tidak cukup kuat menerima kabar buruk, musuh-musuh di waktu perang, orang-orang yang akan menggunakan informasi dari mulut kita untuk mencelakai orang lain. Ketika kita menyembunyikan kebenaran dari orang-orang yang tidak berhak, kita tidak melanggar hukum ke-9, karena secara prinsip, hukum tersebut melarang kita mencelakai sesama kita dan dalam waktu sama harus mengusahakan kesejahteraan mereka. Jika saat kita berbicara benar dan kebenaran itu justru mencelakai sesama, maka menahan kebenaran adalah pilihan yang lebih baik di antara dua hal yang jahat (the least of two evils).

Tetapi pada akhirnya dusta tetap dusta, sekalipun dusta itu atas dorongan kasih kepada sesama. Etika Kristen tidak berdasarkan prinsip tujuan membenarkan cara (the end justifies the means). Dusta yang dilakukan demi untuk menyelamatkan sesama, bagaimanapun tetap dusta. Kedua bidan itu diberkati bukan karena mereka berdusta, tetapi karena lebih takut kepada Allah daripada takut kepada manusia. Pada akhirnya, saat kita harus diperhadapkan dua pilihan yang jahat, biarlah Tuhan memberikan kita hikmat untuk menjawabnya. Jika di dalam segala kelemahan kita sebagai manusia dan ketidakmampuan kita untuk menuruti perintah Allah secara utuh, dan harus memilih di antara dua yang jahat, baiklah kita mengarahkan hati kita kepada anugerah dan pengampunan di dalam Yesus Kristus. (PD)