Bagikan artikel ini :

Doa yang “Putus Asa” di Hadapan Allah

Pendahuluan

Ada anekdot yang tentang seorang pendeta dan supirnya yang sama-sama meninggal dunia dan masuk surga. Di surga, sang supir mendapatkan pahala yang besar sedangkan sang pendeta mendapatkan pahala yang lebih kecil. Sang pendeta yang keheranan bertanya, ‘Mengapa pahala supirku lebih besar daripada pahalaku?’ Tuhan menjawab, ‘Oh, itu karena ketika berada di dalam dunia supirmu selalu mengemudi dengan ugal-ugalan sehingga jemaat yang berada di mobil gereja selalu berdoa dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan selama berada di dalam dunia walaupun engkau selalu berkhotbah, namun khotbahmu malah membuat jemaat-mu tertidur!’ Dari konsep-konsep yang tersirat dalam anekdot ini, kita akan mengangkat teologi ‘doa’ orang Kristen.

Doa “Putus Asa”

Pada kenyataannya doa bukanlah hal yang normal bagi manusia pada umumnya. Manusia belum mau berdoa sebelum merasa tersudutkan, atau berada di ujung tanduk! Doa-doa yang dipanjatkan di masa-masa yang aman dan nyaman biasanya kurang berkualitas dan dangkal, berbeda dengan doa-doa dalam keadaan putus-asa atau di masa-masa yang sulit. Karena perbedaan kualitas inilah maka Leonard Ravenhill, seorang pengkhotbah yang diurapi Allah berkomentar: ‘Allah tidak mengabulkan doa: Allah hanya mengabulkan doa putus asa!’ Mari kita gali lebih lanjut unsur penting yang terkandung di dalam doa putus asa. Mari kita teliti dua doa putus asa Raja Daud di dalam Mazmur 141 dan 51 yang saling mengiluminasi satu dengan yang lainnya.

Ada beberapa unsur penentu yang dapat kita petik dari doa putus-asa:

Pertama, ketulusan hati. Di dalam Mazmur 141, keputusasaan yang dialami Daud kemungkinan besar dilatarbelakangi oleh Raja Saul yang ingin menghabisinya karena iri akan popularitas Daud yang semakin melejit. Sebagai buron yang dikejar-kejar raja Israel dan pasukan perangnya siang dan malam, ia merasa dirinya tidak berdaya, bagaikan anjing mati dan kutu semata (1 Sam. 24:14). Sedangkan di dalam Mazmur 51 keadaannya terbalik. Daud-lah yang menzolimi orang yang tidak bersalah. Demi mendapatkan Batsyeba, istri Uria, Daud berdusta, berzinah, dan melakukan pembunuhan berencana, namun Allah melihat semuanya dan menegurnya dengan keras melalui nabi Natan. Di bawah angkara-murka Allah, Daud merasa tidak berdaya dan tulang-tulangnya serasa remuk-redam (Maz. 51:9). Ia terhimpit suatu dilema: di satu pihak ia ingin lari bersembunyi dari wajah Allah; di pihak lain ia takut terbuang dari hadapan Allah dan kehilangan Roh Kudus Allah yang ada pada-nya (Maz. 51:9,11). Di dalam kedua Mazmur ini, terlihat jelas ketulusan hati Daud untuk meminta pertolongan dari Allah sebagai sumber pengharapan satu-satunya. Tidak ada di dalamnya kepura-puraan untuk tebar pesona di hadapan Allah. Tidak ada pula permintaan hal-hal yang tidak perlu sebagai pemuasan hawa nafsu. Yang ada adalah doa yang tulus ikhlas dan intens: Tuhan, tolong aku!’ seperti doa Petrus yang akan tenggelam (Mat. 14:30).

Kedua, kebenaran batin. Dari Mazmur 141 kita ketahui bahwa dalam pandangan Allah ‘doa’ identik dengan persembahan korban ukupan dan korban bakaran (Maz. 141:2). Jika kita cermati hukum seremonial yang begitu detil dan banyak tentang peraturan persembahan korban di Bait Suci, kita tahu bahwa tuntutan Allah adalah kesempurnaan yang prima. Persembahan yang bercacat merupakan suatu penghinaan besar bagi-Nya dan dapat berakibat fatal bagi pelanggarnya. Namun di dalam Mazmur 51 Daud menyatakan, ‘Sebab Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya. Korban sembelihan kepada Allah ialah hati yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah (Maz. 51:16-17). Mungkinkah Allah berubah pikiran dari tuntuan kesempurnaan-Nya? Tentu saja tidak. Motto terkenal lex orandi, lex credendi (hukum doa adalah hukum keimanan) dari bidang keilmuan liturgi Gereja berlatar-belakang teologi ortodoks dapat membantu kita mengerti hal ini. Korban persembahan yang sempurna secara lahiriah yang tidak dibarengi oleh kesempurnaan batiniah adalah nol besar di mata Allah. Kesempurnaan persembahan secara lahiriah tidak mungkin terjadi jika tidak didahului oleh kesempurnaan secara batiniah. Daud menyimpulkan, ‘Sesungguhnya Engkau berkenan akan kebenaran batin, dan dengan diam-diam Engkau memberitahukan hikmat padaku’ (Maz. 51:6). Kebenaran batin yang sempurna ini Daud peroleh hanya dari Allah semata. Sekalipun terlahir di dalam dosa dan terlilit perbuatan jahat yang ia lakukan terhadap Allah (Maz. 51:3, 5), ketika Daud mau mengakui dosa dan pelanggarannya dan juga mau meninggalkan jalannya yang jahat serta berpaling kepada Allah, Allah akan mengampuninya. Dosa-dosanya yang banyak akan diampuni, hatinya yang kotor akan ditahirkan dan dibasuh menjadi putih seperti salju, batinnya yang lesu akan dibangkitkan kembali sehingga penuh dengan sukacita kegirangan, karena mengalami selamat yang datang dari Allah. Allah akan memperlengkapinya dengan roh yang teguh dan rela (Maz. 51:8, 10, 12) sehingga bibirnya akan penuh dengan puji-pujian kepada Allah. Pengalaman yang dialaminya menjadi suatu kesaksian yang dapat mengajarkan jalan Allah kepada orang-orang berdosa sehingga mereka berbalik kepada Allah (Maz. 51:13, 15).

Penutup

Tentunya kita semua ingin mengalami pengalaman doa yang dikabulkan seperti yang dialami Raja Daud. Doa yang dipersembahkan kepada Allah tidak hanya membutuhkan ketulusan hati, seperti doa-doa krisis pada umumnya, tetapi juga kesempurnaan kebenaran batin. Kita tidak mungkin dapat mempersembahkan doa yang benar jika pemahaman kita keliru tentang Allah, sifat-sifat-Nya, serta prinsip-prinsip yang Ia gariskan bagi kita. Pemahaman yang benar seperti yang dimiliki oleh Raja Daud hanya dapat diperoleh dengan mempelajari Firman yang telah diwahyukan Allah melalui Roh Kebenaran-Nya. Kita yang rindu mendapatkan kelimpahan berkat yang Allah sediakan, mari kita perlengkapi doa kita dengan membaca Firman Allah, sehingga doa kita merupakan persembahan yang harum yang lahir dari kebenaran batin yang sempurna.*** (IT)